Jakarta - Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan suara 5 partai pengusung revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diprediksi bakal anjlok di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.
Adapun partai pencetus revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK adalah PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PPP, dan Partai Nasdem. Anggota Komisi III dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu menyebutkannya belum lama ini.
"Saya pikir elektabilitas kelima partai ini berpotensi turun, jika masih ngotot revisi Undang-Undang KPK," kata Wasisto kepada Tagar, Rabu, 11 September 2019.
Apalagi banyak jasa KPK menangkapi para kepala daerah dan kroninya yang korupsi di daerah. Masyarakat akan mengingat betul langkah sepihak itu.
Musababnya masyarakat saat ini berpersepsi KPK telah berhasil memberangus para koruptor dengan banyaknya operasi tangkap tangan (OTT).
Revisi UU KPK yang diusulkan DPR, kata Wasisto, dianggap masyarakat melemahkan independensi lembaga antirasuah itu. Bila UU KPK ini mulus direvisi pemangku eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, maka masyarakat akan mengingatnya hingga pemilihan kepala daerah 2020.
"Apalagi banyak jasa KPK menangkapi para kepala daerah dan kroninya yang korupsi di daerah. Masyarakat akan mengingat betul langkah sepihak itu," kata dia.

Wasisto mengingatkan agar Komisi III DPR dapat mempertimbangkan revisi UU KPK."Saya pikir mereka perlu berpikir ulang dan mengakomodasi kritik masyarakat. Revisi UU KPK ini juga saya menilai lebih banyak unsur politisnya," tuturnya.
Namun, anggapan berbeda datang dari Direktur Riset Populi Center, Usep S. Ahyar. Ia mengatakan tak akan ada imbas terhadap 5 partai pengusung revisi UU KPK pada Pilkada 2020.
Menurut dia, masyarakat akan tetap terlena dengan sosok calon kepala daerah yang turun langsung menemui pemilih. Usep menyebut, masyarakat cenderung menanggalkan masa lalu dalam pesta demokrasi meski seseorang atau partai pengusungnya memiliki rekam jejak kasus tertentu.
"Memang kalau kita lihat di beberapa pilkada, korupsi masih belum menjadi no 1 di masyarakat. Terbukti ada beberapa calon legislatif yang waktu itu kita ingat, tetap terpilih walau terbukti korupsi," kata Usep kepada Tagar.
Usep mengatakan dalam kontestasi pemilihan kepala daerah diperlukan dana yang tidak sedikit untuk menggugah masyarakat menentukan pilihan. Pasalnya pemilih lebih cenderung terbuka dengan cara-cara sosok terjun langsung ke daerah pemilihan dibandingkan mengingat masa lalu.
"Masyarakat menimbang keterpilihan seseorang itu, yang menjadi pemimpin bukan karena latar belakang tapi sosok yang hadir di tempat tersebut," tuturnya.
Dia menilai, banyaknya penolakan terhadap revisi UU KPK lantaran masyarakat terlanjur kecewa dengan masih maraknya anggota DPR terbelit kasus tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Alih-alih memperkuat KPK, DPR malah merevisi poin-poin UU KPK yang dinilai menciptakan polemik.
"Semua partai yang tidak dipercaya oleh masyarakat intinya, jadi bukan hanya 5 partai, makanya orang tidak percaya," kata Usep.
Menggelidingnya polemik revisi UU KPK ini diharapkan Usep selesai. DPR sebagai pengusul, sepatutnya mempertimbangkan kembali integritasnya sebagai wakil rakyat dengan meninjau kembali draf revisi yang berpotensi melemahkan KPK, seperti pembentukan dewan pengawas dan kewenangan penghentian penyidikan.
"Revisi UU KPK tidak jadi bola liar, dan juga persoalan integritas, Undang-Undang atau rencana sebaik apapun, kalau lembaga dan orang-orangnya yang menjalankan tidak punya integritas, semua bisa diakali. Yang penting integritas ini yang berpengaruh," tuturnya.
Baca juga:
- Cegah Tradisi Korupsi, Antropolog Tolak Revisi UU KPK
- Sikap PSI Soal Revisi UU KPK Setelah Hujan Pertanyaan