Jakarta – Nuansa tempo dulu terasa kental saat memasuki kawasan Jl Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat. Di tepi jalan sepanjang 450 meter ini berjejer toko yang menjual barang-barang antik bermacam jenis.
Sejumlah penjual terlihat sibuk siang itu, Sabtu, 12 Desember 2020. Sebagian mencoba menawarkan dagangannya pada orang-orang yang melintas, sebagian lagi membersihkan barang-barang antik miliknya dengan lap lembut. Beberapa lainnya memilih untuk sekadar duduk sambil memperhatikan kendaraan yang berhenti menunggu lampu pengatur lalu lintas menyala hijau.
Mendung yang menggelayut pada langit siang itu menyembunyikan matahari. Membuat cuaca lebih teduh, meski sesekali angin nakal meniup awan yang bergumpal dan memunculkan matahari dari sela-selanya.
Suasana di kawasan ini cukup berbeda dengan beberapa bulan lalu saat pandemi belum melanda. Dulu di kawasan ini dengan mudah ditemukan wisatawan mancanegara yang berkunjung, entah hanya sekadar jalan-jalan atau membeli barang antik.
Piringan hitam sempat mengalami masa kejayaan di Indonesia sekitar tahun 1960an hingga 1970an. (Foto: Tagar/Faza Nidwana Ribhan)
Seorang pria paruh baya duduk di depan tokonya, Mini Galeri Nusantara, sambil menatap layar ponsel dalam genggamannya. Rambutnya yang sudah memutih terurai hingga menyentuh bahu, mirip penyanyi atau musisi jadul. Serasi dengan barang-barang yang dijualnya.
Penggemar Koes Plus
Tidak jauh dari Diyanto, nama pria itu, pintu geser yang terbuat dari besi tampak sudah terbuka. Terdapat gambar personel band lawas asal Indonesia, Koes Plus di samping pintu.
Di dalam toko milik pria berusia 59 tahun tersebut sejumlah rak kayu berderet rapi. Di dalamnya berisi album piringan hitam. Lagu lawas dari berbagai penyanyi dan grup band Indonesia tersusun sesuai dengan genre dan tahunnya.
Selain pintu berlukis Koes plus, terdapat foto berbingkai yang terlihat jelas wajah Diyanto bersama drummer Koes plus yaitu Kasmuri yang akrab disapa Murry.
Diyanto menceritakan, awalnya, pria beranak lima ini hanya mengoleksi piringan hitam milik ayahnya. Tapi, setelah dia memiliki penghasilan, Diyanto mulai menambah koleksi piringan hitamnya yang dibeli di berbagai toko musik.
Selepas bekerja, Diyanto selalu mampir ke Jl Surabaya untuk sekedar melepas penat atau mengobrol dengan teman-teman. Pada tahun 2017, ia membuka toko musik yang hingga kini masih berdiri tegak.
Koleksi piringan hitam dan kaset Koes Plus miliknya terbilang lengkap, sehingga ia dipercaya memindai seluruh sampul album piringan hitam dan kaset untuk dipajang di Museum Koes Plus di Tuban, Jawa Timur.
Mengoleksi piringan hitam bukan cuma jadi kesenangan diri sendiri tapi bisa menjadi kebanggaan.
Pria kelahiran 1961 ini mengubah posisi duduknya. Ia menceritakan sejarah piringan hitam di Indonesia. Menurutnya, piringan hitam sudah ada di Indonesia sejak tahun 1960an dan mulai hits pada tahun 1970an.
Berdasarkan bahan piringan, piringan hitam terdiri dari dua jenis, yakni piringan hitam dan piringan hitam vinyl. Piringan hitam terbuat dari kaca yang mudah pecah, sedangkan pada piringan hitam vinyl, bahan kaca dilapisi dengan vinyl agar tidak mudah pecah.
Perawatan piringan hitam vinyl bisa dilakukan enam bulan sekali, yakni dengan menyemprotkan bahan pembersih kaca yang dicampur dengan sampo dan dilarutkan ke dalam air. Setelah itu piringan hitam vinyl dapat digosok dan di lap hingga kering.
“Yang penting dia (piringan hitam) gak ada goresan karena itu bisa mengganggu suara. Kalau debu dan pasir bisa dibersihkan. Yang penting jangan lembab karena bisa jamuran,” kata Diyanto.
Perbedaan lainnya terdapat pada alat pemutar piringan. Piringan hitam diputar menggunakan alat yang disebut gramafon (gramophone) atau fonograf (phonograph). Alat ini berupa kotak dengan corong yang berbentuk seperti terompet. Sedangkan piringan hitam vinyl dimainkan menggunakan turntable yang tidak ada corong di atasnya.
Meski alat pemutarnya berbeda, cara kerja piringan hitam sama, yaitu dengan menggunakan stylus, yang berbentuk seperti jarum. Stylus tersebut dipasang di pinggir piringan hitam. Fungsinya untuk mencatat simpangan gelombang suara yang direkam di piringan hitam dan meneruskannya ke alat pengeras suara.
Koleksi piringan hitam milik Diyanto disimpan dalam rak dan laci, sesuai dengan genre. (Foto: Tagar/Faza Nidwana Ribhan)
Diyanto bangkit dari duduknya dan menunjukkan berbagai jenis piringan hitam miliknya. Dari ukurannya, piringan hitam dibagi menjadi tiga jenis, yaitu berdiameter 30 cm, 25 cm, dan 20 cm. Setiap jenis memiliki muatan jumlah lagu yang berbeda. Rata-rata lagu yang bisa dimuat dalam satu piringan hitam adalah dua hingga 12 lagu, tergantung durasinya.
Selain besarnya diameter, jenis piringan hitam juga dapat dibagi berdasarkan RPM (Rotation Per Minute) yaitu 45 rpm untuk plat berdiameter 25 cm dan 20 cm, dan 33 1/3 untuk plat berdiameter 30 cm.
Kalah oleh Kaset Pita
Kejayaan piringan hitam kala itu tidak bertahan lama. Biaya produksinya yang tinggi dan ukurannya yang cukup memakan tempat serta hanya bisa digunakan di alat pemutar yang tak kalah besar, membuat piringan hitam mulai ditinggalkan. Para penikmat musik mulai beralih pada kaset pita pada tahun 1973.
Kaset digandrungi karena dapat memuat lebih banyak lagu dan dapat dibawa berpergian. Meski pita kaset tipis dan mudah kusut, perawatannya lebih mudah dan harganya lebih murah. Tapi piringan hitam tetap memiliki keunggulan dalam suara jika dibandingkan dengan kaset pita. Suara yang dihasilkan oleh piringan hitam lebih jernih.
Kala itu Diyanto pun tak mau ketinggalan. Dia juga mengoleksi kaset pita. Dia mencari kaset berisi lagu-lagu yang ada dalam piringan hitam miliknya, agar ia mempunyai dua versi yang berbeda. Ia menerapkan disiplin dalam menyimpan koleksinya. Sampai saat ini koleksinya masih terjaga dengan baik. Diyanto juga menjual kaset di Mini Galeri Nusantara miliknya. Kaset tersusun rapi di dalam laci khusus yang sudah dipisah berdasarkan genre dan tahunnya.
Seiring perkembangan teknologi, kaset mulai ditinggalkan pada tahun 1990an, dan beralih pada compact disk (CD), yang saat ini juga sudah jarang digunakan.
Kini, berpuluh tahun sejak piringan hitam mulai ditinggalkan, banyak anak muda yang justru menyukai kembali piringan hitam. Meski piringan hitam sudah tidak diproduksi di Indonesia, mereka berburu ke berbagai pasar antik di Jakarta, Jawa Tengah, atau Surabaya untuk menambah koleksi mereka.
Tidak jarang para penjual mendapatkan piringan hitam dari sesama kolektor piringan hitam. Terkadang barter antar-kolektor pun sering terjadi. Semakin sulit lagu didapat, akan semakin mahal harganya.
“Aku gak mentingin cari untung, aku cuma hobi aja dan buka toko di sini.”

Saat ini harga sekeping piringan hitam berkisar antara Rp 50 ribu hingga Rp 300 ribu. Sedangkan untuk satu unit turntable harganya antara Rp 1 juta hingga Rp 10 juta, tergantung merek dan kualitas suara yang dihasilkan.
Diyanto juga menceritakan bahwa pada awal pandemi dirinya sempat menutup toko selama empat bulan, dan kembali dibuka pada Juli 2020. Selama Diyanto menutup gerainya, ia menjual piringan hitam dan kaset melalui online di tiga e-commerce berbeda. Hal itu dilakukanya untuk menutupi kerugian akibat tokonya tutup.
Saat ini, untuk mengedukasi para penggemar piringan hitam pemula, setiap Jumat malam, Diyanto melakukan siaran langsung di akun Facebook pribadinya, Diyanto Min Plus. Ia berbagi cerita tentang piringan hitam dan memutar beberapa lagu lalu membahasnya. Diyanto juga menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para penontonnya. []
(Faza Nidwana Ribhan)