Polda Papua Ungkap Dugaan Obat Ilegal Pengganti ARV

Ditreskrimsus Polda Papua mengungkap praktek penjualan suplemen Purtier Placenta yang tak memiliki izin edar dari POM Jayapura.
Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Mustofa Kamal (kiri) didampingi Kanit 1 Subdit Indagsi Reskrimsus AKP Komang Yustrio Wirahadi Kusuma. (Foto: Tagar/Paul Manahara Tambunan)

Jayapura - Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Papua mengungkap praktek penjualan suplemen Purtier Placenta yang diduga mengakibatkan kerugian pada konsumennya. Seorang dokter ternama di Papua berinisal JM tengah diperiksa sebagai saksi atas kasus tersebut.

Kanit 1 Subdit Indagsi Reskrimsus Polda Papua, Ajun Komisaris Pol Komang Yustrio Wirahadi Kusuma mengatakan, dr. JM sepanjang menjual Purtier Placenta tidak mengantongi surat ijin edar dari pihak Balai Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Jayapura. Suplemen itu pun diklaim sebagai obat antiretroviral (ARV) atau obat pengganti bagi pengidap penyakit Aids.

Kenapa ini kami tindak lanjuti? Karena kami khawatir ada pemahaman yang berbeda di masyarakat.

Hasil pemeriksaan sementara, JM mengaku telah menjual suplemen tersebut kepada pasiennya selama dua tahun terakhir. Satu kotak Purtier Placenta dengan isi 60 butir suplemen dihargai Rp 6 juta. Balai POM pun telah menyampaikan ke pihak kepolisian bahwa JM tak mengantongi ijin edar obat itu.  

“Kenapa ini kami tindak lanjuti? Karena kami khawatir ada pemahaman yang berbeda di masyarakat. Awal peredaran obat ini diperkenalkan dokter Manangsang sebagai obat ARV di Papua. (Purtier sendiri) merupakan obat pengganti Aids yang sudah disahkan oleh WHO,” kata Komang kepada wartawan di Media Center Polda Papua, Kota Jayapura, Senin 3 Februari 2020.

Mencuatnya kasus ini setelah banyak warga mengeluh lantaran mengkonsumsi Purtier Placenta. Mereka mengadukan keluhannya kepada Balai POM Jayapura, dan juga ke Polda Papua.

Bukannya lebih baik, malah sejumlah warga yang mengkonsumsi suplemen itu mengaku kondisi kesehatannya semakin memburuk.

“Balai POM menyampaikan kepada kami bahwa barang ini belum memiliki ijin edar. Jadi belum layak untuk dikonsumsi atau diedarkan ke masyarakat luas. Peredaran obat ini sudah sangat meresahkan khususnya di daerah Papua,” bebernya seraya menjelaskan Purtier Placenta merupakan suplemen generasi ke enam. Dimana kandungan di dalamnya terdapat placenta rusa.

Bahkan kata Komang, sebanyak empat konsumen meninggal dunia setelah mengkonsumsi Purtier Placenta yang dibeli dari dr. JM. Ini berdasarkan laporan warga kepada polisi. Selama ini, Papua dianggap menjadi pasar potensial bagi peredaran Purtier Placenta.

“Ada sekitar 30 kotak (Purtier Placenta) kami sita dari dokter Manangsang, dimana satu kotak berisikan 60 biji berupa pil. Harga per satu kotaknya Rp 6 juta. Kalau di Jawa harganya sekitar Rp 1 - Rp 2 juta. Indeks penjualannya di Papua cukup besar,” kata Komang sembari menunjukkan barang bukti yang diamankannya.

Balai POM menyampaikan kepada kami bahwa barang ini belum memiliki ijin edar. Jadi belum layak untuk dikonsumsi atau diedarkan ke masyarakat luas.

Dari penyelidikan kasus ini pula terungkap jika Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Papua pernah melakukan lelang pengadaan suplemen Putrier Placenta dengan menggunakan dana hibah yang diberikan Pemerintah Provinsi Papua, sebanyak dua kali.

“Kami juga sudah klarifikasi pihak KPA. Nilainya kurang lebih Rp 1,8 miliar. Penyelidikan dugaan penyalahgunaan dana hibah ini nanti menjadi kewenangan teman-teman di Tipikor atau Kejaksaan. Kami hanya fokus di ijin edar obat ini,” jelas Komang.

Sementara kasus ini sudah masuk pada tahap penyidikan, meski dr. JM berstatus saksi. Kata Komang, penyidik masih mendalami keterangan sejumlah saksi serta mengumpulkan barang bukti guna mengungkap kasus ini. “Belum ada penetapan tersangka. Kami masih butuh proses lebih lanjut,” jelasnya.

“Sebanyak tiga orang saksi sudah kami periksa yakni insisal YM, MH, dan SS. Itu seluruhnya adalah penderita HIV sekaligus korban. Mereka membeli obat ini dari dokter Manangsang melalui resep, kemudian membayar Rp 6 juta untuk 1 kotak,” lanjut Komang.

Dia mengatakan jika JM dalam bukunya, menuliskan jika Purtier Placenta bermanfaat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Dalam buku itu pula disebutkan beberapa orang mengalami peningkatan setelah mengkonsumsi suplemen yang direkomendasikannya itu.

“Tapi itu kan asumsi dari dia. Harus ada kajian klinis atau medis terkait obat ini. Hal ini belum bisa dibuktikan,” kata Komang.

Komang menambahkan, jika nantinya dr. JM terbukti bersalah dalam gelar perkara kasus ini maka akan dikenakan UU Kesehatan Pasal 197 Juncto Pasal 106 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun.

Sementara itu, Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Mustofa Kamal mengimbau kepada masyarakat agar tidak menafsirkan Putrier Placenta sebagai obat yang sah diperjual belikan di Papua. Sebab, Balai POM belum mengeluarkan ijin edar suplemen tersebut secara legal.

“Sebenarnya itu adalah suplemen makanan yang notabene tidak bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Sejumlah saksi tidak merasakan manfaat positif setelah mengkonsumsi obat itu. Dari ketidak puasan warga itulah kemudian diketahui legalitas obat itu tidak ada,” beber mantan Wakapolresta Depok ini. []

Berita terkait
15 Saksi Kasus Bansos Keerom Papua Diperiksa
Kejaksaan Tinggi Papua telah memeriksa 15 orang saksi terkait dugaan penyalahgunaan dana hibah dan Bantuan Sosial di Kabupaten Keerom.
Ladang Ganja dan Tuannya Digerebek di Papua
Sebanyak 56 batang ganja berukuran tinggi 50 cm hingga tinggi 3 meter berhasil disita aparat keamanan di Kampung Kalilapar 1, Distrik Waris, Papua.
Peradi Papua Sesalkan Penundaan Periksa Dua Bupati
Peradi Papua menyesalkan kebijakan Kejaksaan Agung RI yang menunda proses hukum oknum kepala daerah di Papua yang terindikasi korupsi.