Polemik Rawa Tripa yang Tak Kunjung Usai di Aceh

Langit cerah menerangi Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Hamparan lahan dipenuhi ilalang membentang sejauh mata memandang. Itu kawasan Rawa Tripa.
Kondisi Rawa Tripa di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, Senin, 29 Juli 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Nagan Raya, Aceh - Langit cerah menerangi Kabupaten Nagan Raya, Aceh, pada penghujung Juli 2019. Hamparan lahan dipenuhi ilalang membentang sejauh mata memandang.

Cuaca cukup panas, terasa menyengat hingga ke pori-pori terdalam. Wajah-wajah lelah terlihat pada mereka yang ikut dalam rombongan. Langkah demi langkah ditapaki menyusuri luasnya lahan.

Bongkahan pohon-pohon besar berserakan di sepanjang jalan setapak menuju lahan. Itu diduga hasil dari pembalakan liar. Pohon dan hutan ditebang dan kemudian ditanam pohon sawit.

Itulah lokasi Rawa Tripa di kawasan Nagan Raya, Aceh. Rawa Tripa merupakan suatu kawasan seluas 61 ribu hektare lebih yang berada di bagian barat Provinsi Aceh, yakni Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya.

Tripa mengandung keragaman hayati yang tinggi. Di samping sangat penting bagi penduduk setempat, Tripa juga merupakan penampungan karbon terbesar di Aceh.

Tripa adalah satu dari hanya enam tempat di mana masih terdapat orang utan Sumatera (Pongo abelii) yang terancam, dan salah satu dari situs prioritas UNEP-GRASP untuk spesies tersebut.

Saat ini masih ada sekitar 280 ekor, yaitu lebih dari 4 persen dari jumlah keseluruhan di dunia. Tripa memiliki salah satu kepadatan yang tertinggi di dunia untuk orang utan, yang berakibat berkembangnya kebudayaan menggunakan alat yang tidak ada duanya di kalangan spesies ini.

Tripa mengandung antara 50 dan 100 juta ton karbon dan merupakan penampungan karbon positif bersih. Namun, jumlah karbon yang tinggi sedang dilepaskan oleh karena penghancuran gambut lewat pembakaran, drainase dan oksidasi yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit.

Empat perusahaan perkebunan sawit besar sedang menghancurkan hutan Tripa, membakar gambutnya dan menggali saluran untuk menanam sawit. Salah satu perusahaan itu adalah PT Kallista Alam.

Kita tidak lihat siapa punya lahan. Nanti pembuktiannya di persidangan.

Rawa Tripa AcehKetua Majelis Hakim, Arizal Anwar, memimpin pemeriksaan setempat atau sidang lapangan terkait sengketa lahan Rawa Tripa di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, Senin, 29 Juli 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

***

Di penghujung Juli 2019, Tagar bersama Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) berkesempatan mengunjungi kawasan tersebut.

Pada siang itu, Minggu 28 Juli 2019, dari sudut warung kopi di Kota Banda Aceh, kami berangkat menggunakan roda empat milik yayasan tersebut. Untuk mencapai lokasi itu, harus menempuh perjalanan kurang lebih 286 kilometer atau memakan waktu 6 jam perjalanan.

Sebelum tiba di lokasi, kami terlebih dulu singgah di sebuah penginapan di Kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Keesokan harinya, Senin 29 Juli 2019, melanjutkan perjalanan ke lokasi Rawa Tripa di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya. Jarak tempuh hanya satu jam.

Sebelum tiba di Rawa Tripa, kami harus melewati medan berat. Jalan dipenuhi bebatuan dan debu. Kiri-kanan jalan, perkebunan sawit tumbuh lebat di antara rumah-rumah penduduk.

Saat tiba di lokasi, saat itu sedang berlangsung pemeriksaan setempat atau sidang lapangan terkait kasus yang menimpa PT Kallista Alam.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung telah menyatakan PT Kallista Alam terbukti telah membakar hutan seluas 1000 hektare dan dinyatakan bersalah, sehingga harus membayar denda sebesar Rp 366 miliar.

Selain itu, Mahkamah Agung juga meminta kepada Pengadilan Negeri (PN) Suka Makmue, Nagan Raya untuk segera mengeksekusi lahan tersebut.

Namun, hingga saat ini perusahaan itu belum melakukan apa yang diperintahkan PN Suka Makmue. Artinya, pembayaran denda dan pemulihan lahan belum dilakukan sama sekali meskipun sudah berkekuatan hukum tetap.

Rawa Tripa AcehRombongan menyusuri luasnya lahan saat pemeriksaan setempat atau sidang lapangan terkait sengketa lahan Rawa Tripa di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, Senin, 29 Juli 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

***

Humas PN Suka Makmue, Edo Juniansyah mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan peringatan kepada perusahaan tersebut sebanyak dua kali setelah dilakukan delegasi dari PN Meulaboh.

"Setelah diberi peringatan dua kali, sampai saat ini belum diindahkan," ucap dia.

Saat persoalan itu belum selesai, tiba-tiba timbul lagi persoalan baru. Warga di kawasan PT Kallista mengklaim bahwa lahan yang dibakar oleh perusahaan itu, 600 hektare di antaranya merupakan milik mereka.

Bahkan, warga mengaku lahan tersebut telah bersertifikat jauh sebelum adanya gugatan terhadap PT Kalista Alam.

Karena itu, warga menggugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan PT Kallista Alam ke PN Suka Makmue, Nagan Raya agar eksekusi tersebut ditunda.

Sepuluh warga yang menggugat itu adalah Teungku Ilyas selaku pelawan I, Abdul Rafar pelawan II, Atip PA pelawan III, M Amin pelawan IV, Siti Hawa pelawan V, Saini pelawan VI, Adnan pelawan VII, Mariana pelawan VIII, Mariana pelawan IX, dan Musliadi pelawan X.

Karena itu hukum perdata, majelis hakim harus menggelar pemeriksaan setempat atau sidang lapangan untuk memastikan apakah yang disampaikan warga tersebut benar atau tidak.

Pada pemeriksaan lapangan, hakim, pelawan (warga), serta terlawan (KLHK dan Kallista Alam) hadir ke lokasi. Bersama rombongan, mereka harus berjalan kaki sejauh dua kilometer menyusuri beberapa bidang lahan Rawa Tripa.

Rawa Tripa AcehKondisi Rawa Tripa yang rusak akibat pembakaran lahan untuk ditanami sawit. Hal itu menyebabkan berubahnya keseimbangan ekosistem alam yang telah tertata baik di kawasan tersebut. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

***

Ketua Majelis Hakim, Arizal Anwar menyebutkan bahwa sidang lapangan dilaksanakan untuk memastikan batas tanah sebagaimana gugatan warga bernomor 1/Pdt.Bth/2019/PN Skm.

Dalam gugatan itu, warga meminta PN Suka Makmue menunda pelaksanaan putusan pengadilan hingga Mahkamah Agung sampai gugatan perlawanan memperoleh kekuatan hukum tetap.

“Kita tidak lihat siapa punya lahan. Nanti pembuktiannya di persidangan,” kata Arizal.

Atip PA, seorang penggugat dari warga menyebutkan bahwa pihaknya menggugat pemerintah karena lahan itu milik mereka. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan sertifikat tanah.

"Kalau pemerintah mau eksekusi atau apa tidak masalah, asal di luar punya hak kami. Ini tanah kami jadi kami harus mempertahankannya," kata Atip.

Apa yang dikatakan warga bertolak belakang dengan yang disampaikan pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Kasubdid Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Pengadilan Ditjen Gakkum KLHK Syarifuddin Akbar menjelaskan, lahan warga yang diklaim tersebut tidak berada di kawasan perkebunan PT Kalista yang telah diberi peringatan untuk dieksekusi.

"Tadi sudah kita saksikan bersama, ternyata apa yang ditunjukkan masyarakat itu kalau menurut saya menurut peta PT Kalista itu berada di luar, semua itu di luar," ucap Syarifuddin.

Hal senada disampaikan pengacara tergugat intervensi dari Yayasan HAKA, Nurul Ikhsan. Menurut dia, apa yang diklaim oleh masyarakat tersebut sedikit aneh.

Seharusnya, ujar Ikhsan, jika memang itu lahan mereka maka sudah ada bantahan dalam persidangan di pengadilan jauh sebelum ada putusan hukum tetap (inkracht).

Menurut Ikhsan, gugatan warga itu bertujuan mempengaruhi keputusan yang sudah inkracht. Sehingga, hal tersebut akan menyebabkan eksekusi tertunda.

"Perkara ini sudah bergulir sejak 2013. Kenapa sekarang mau dieksekusi baru buat perlawanan. Pertanyaan kita ada apa? kok sekarang gugatan, menurut saya ini nuansanya berat pada kepentingan," ujar Ikhsan.

Kata Ikhsan, kehadiran HAKa dalam kasus itu bukan untuk mempermasalahkan kepemilikan lahan oleh masyarakat, tetapi bagaimana kasus tersebut bisa segera dieksekusi.

"Yang kita persoalkan bagaimana eksekusi ini bisa dilaksanakan, sehingga bisa dilakukan pemulihan, tujuannya agar lahan dapat difungsikan kembali sebagaimana mestinya," kata Ikhsan. []

Berita terkait
Pabrik Kertas di Aceh Dituduh Merusak Lingkungan
Mahasiswa demonstrasi mendesak Pemerintah Aceh segera mencabut izin operasional perusahaan PT Pulp and Paper Industry.
Video: Helikopter Padamkan Kebakaran Hutan di Aceh
Pemadaman kebakaran hutan dan lahan itu lantaran adanya bantuan satu unit helikopter dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
0
Sidang Isbat Digelar Hari Ini, Penentuan Tanggal 1 Dzulhijjah 1443 H
Sidang isbat penentuan tanggal 1 Dzulhijjah 1443 H akan digelar oleh Kementrian Agama (Kemenag) pada Rabu, 29 Juni 2022.