Pematangsiantar - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitahsari meminta pemerintah membuka mata terhadap manfaat ganja dari segi medis. Dia berpendapat, dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini, menjadi ilustrasi bagaimana Pemerintah Indonesia sebenarnya juga tidak sigap ketika dihadapkan dengan isu-isu kesehatan.
Tita menekankan indikator ketidaksiapan pemerintah, seperti tingginya jumlah angka kematian termasuk dari kalangan tenaga medis, masalah transparansi data, minimnya koordinasi, dan lain sebagainya.
Pemerintah seharusnya lebih membuka diri terhadap realitas ini dengan menggunakan segala peluang yang ada.
Hal tersebut, kata dia, menunjukkan bahwa Pemerintah RI tidak mampu secara efektif mengendalikan masalah pagebluk yang mengancam kesehatan masyarakat.
Baca juga: Menakar Legalisasi Ganja di Indonesia ala Lebanon
"Gagapnya pemerintah dalam meminimalisir dampak Covid-19 semakin diperparah dengan sikap pemerintah yang menolak kebenaran ganja telah dimanfaatkan untuk kesehatan di banyak negara," kata Tita dalam keterangan pers yang diterima Tagar, Rabu 20 Mei 2020.
Dia meyakini, salah satu manfaat ganja dapat meredakan kecemasaan atau anxiety. Di sisi lain, dampak tidak langsung dari Covid-19 justru meningkatkan kecemasan terhadap seseorang, akibat dari situasi yang tidak pasti saat ini maupun ke depan. Maka itu dia merasa ganja perlu diriset agar fakta kemaslahatannya dapat dirasakan masyarakat.
Seorang jurnalis sedang melewati ladang Ganja di Kawasan Aceh Besar, Aceh. (Foto: Tagar/Fahzian Aldevan)
"Pemerintah seharusnya lebih membuka diri terhadap realitas ini dengan menggunakan segala peluang yang ada untuk menanggulangi dampak Covid-19, termasuk dampak dari kesehatan mental masyarakat. Bukan malah mempertahankan kebijakan perang terhadap narkotika yang justru kontraproduktif terhadap upaya menanggulangi wabah Covid-19," ujarnya.
Dia menekankan, dalam mengatur kebijakan narkotika, promosi perang terhadap ganja sebagai bagian dari narkoba sudah seharusnya dihentikan. Menurut Tita, metode penghukuman yang keras terbukti tidak pernah efektif, bahkan malah mendatangkan beban luar biasa pada negara, dengan semakin meningkatnya jumlah penghuni rutan yang menyebabkan lapas overcrowding.
Baca juga: Ilmuwan Kanada: Ekstrak Ganja Tangkal Virus Corona
"Ditambah lagi, kriminalisasi narkotika hanya akan menguntungkan pasar gelap. Mengapa pemerintah bersikeras melakukan pelarangan narkotika yang justru memberikan manfaat keuangan kepada sindikat pasar gelap?" ucapnya terheran-heran.
Selain itu, secara khusus, di masa pandemi ini, ICJR mendesak Kepolisian untuk menahan diri agar tidak melakukan penangkapan ataupun penahanan terhadap pengguna ganja medis, mengingat hal itu juga berpotensi melanggar protokol Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB.
"Negara tidak seharusnya memberi penghukuman terhadap warga yang diketahui menggunakan ganja sebagai metode pengobatan. Terlebih, ketika negara sendiri tidak mampu menyediakan akses layanan kesehatan yang memadai," kata dia.
Tita menyarankan, pemerintah harus mulai terbuka terhadap opsi penggunaan tanaman ganja untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Untuk itu, kata dia, langkah awal yang dapat dilakukan, yakni dengan mulai mendorong adanya penelitian-penelitian yang berorientasi untuk melihat manfaat medis yang diperoleh dari kandungan pada tanaman ganja.
Tita mencatat, penggunaan tanaman ganja untuk kepentingan kesehatan sebenarnya telah diadopsi di berbagai negara. Setidaknya, kata dia, hingga saat ini terdapat sekitar 40 negara di seluruh dunia telah memberikan akses secara sah bagi warganya untuk menggunakan metode pengobatan dengan tanaman ganja.
"Hal ini tidak terlepas dari banyaknya penelitian di negara-negara tersebut, yang juga didorong untuk menggali manfaat tanaman ganja secara klinis, yang kemudian digunakan sebagai landasan dalam membuka akses terhadap ganja medis bagi masyarakat," kata Tita.
Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil-Narkotika untuk Kesehatan merupakan gabung dari berbagai LSM. Di antaranya, ICJR, Lingkar Ganja Nusantara (LGN), LBH Masyarakat, Rumah Cemara, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, dan EJA. []