Untuk Indonesia

Reuni 212, Kampanye Berbungkus Agama

Betapa naifnya umat Islam Indonesia yang mudah ditipu oleh gerakan politik yang menggunakan agama sebagai topeng. - Eko Kuntadhi
Pekerja memasang panggung untuk acara Reuni 212 di kawasan Monas, Jakarta, Sabtu (1/12/2018). Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono menyatakan polisi telah mempersiapkan 20.000 personel gabungan untuk mengamankan aksi reuni akbar 212 yang akan berlangsung Minggu (2/12/2018). (Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Sebuah partai punya calon Presiden. Kalau dilihat dari sisi keagamaan calonnya sih, gak bagus-bagus amat. Ia bukan penganut Islam taat. Setiap Jumat, misalnya, selalu ada pertanyaan: adakah yang tahu Prabowo salat Jumat di mana?

Dari sisi keluarga juga pelangi. Adik Prabowo, Hasyim Joyohadikusumo dikenal sebagai tokoh gereja. Kakak iparnya menganut Katolik. Artinya jika sisi keislaman mau ditonjolkan justru tidak ada yang bisa diharapkan dari seorang Prabowo. Selain keluarganya pelangi, Prabowo sendiri bukan penganut Islam yang taat. Ini diungkapkan sendiri oleh Sohibul Iman, Presiden PKS, dalam sebuah kesempatan.

Kita juga sering mendengar kisah soal awamnya Prabowo dalam perkara agama. Macam-macam isunya. Dari mulai ia pernah mempersilakan Yenny Wahid menjadi imam salat, padahal dalam aturan fiqh, perempuan tidak bisa mengimami salat lelaki. Atau kisah-kisah semacam itu.

Saya sendiri tidak masalah dengan latar belakang itu. Bagi saya, urusan agama seorang Capres, mestinya menjadi urusan dia dengan Tuhan. Seberapa jauh penghayatan dan pengetahuan agamanya, itu bukan hal penting bagi saya. Bagi saya kualitas seorang Capres harusnya dilihat dari kemampuannya memimpin. Dilihat dari rekam jejak dan kualitas emosionalnya, bukan dari apakah ia rajin salat atau gak. Atau apakah ia memahami fiqh standar atau buta sama sekali. Kualitas kepemimpinan itulah yang kita butuhkan dari seorang Presiden.

Soal apa agamanya dan bagaimana kualitas ibadahnya, tidak menjadi urusan penting bagi kita. Kalau dia nanti masuk surga atau neraka, masuknya juga sendirian. Kita gak ikut-ikutan. Yang penting bagi rakyat adalah bagaimana hasil kerjanya. Itu jauh lebih dibutuhkan ketimbang mengurus agama seorang Capres.

Dari sisi keagamaan, Jokowi sebagai Capres yang menjadi lawan Prabowo jauh berbeda. Jokowi dilahirkan dari keluarga muslim. Ayah ibunya seorang muslim.

Jauh sebelum menjabat sebagai Wali Kota Solo, Jokowi sudah aktif dalam berbagai kegiatan agama. Bersama pengusaha Solo ia mendirikan pengajian rutin 'Bening Hati.' Ia juga dikenal taat dalam salatnya.

Ketika melakukan kunjungan kenegaraan ke luar daerah, sering Jokowi mampir ke musala atau masjid kecil untuk menjalankan salat. Ia biasa melakukan salat di awal waktu. Ketika masuk masjid, ia berlaku seperti makmum biasa. Makmum yang mengikuti imam rawatib yang biasa memimpin salat di masjid itu. Tidak ada yang berbeda ketika ia masuk masjid. Ia cuma jemaah yang kebetulan seorang Presiden.

"Saya mengenal beliau jauh sebelum jadi wali kota Solo," ujar Kiai Abdul Kareem, hafiz Alquran pengasuh Pondok Pesantren Al Quran Azzayadi, Lawean Solo. "Selama ini ibadahnya bagus. Salat malamnya jarang tinggal. Puasa Senin-Kamisnya rutin," kisahnya.

Tapi sekali lagi. Soal bagaimana ibadah seorang Capres, apa latar belakang agama keluarga, bagi saya gak penting. Ibadah adalah urusan ia dengan Tuhannya. Urusan dengan saya sebagai rakyat adalah bagaimana prestasinya dan konsepnya dalam membangun Indonesia masa depan.

Makanya saya agak sedikit bingung ketika soal agama Capres, justru dipermasalahkan oleh para pendukung Prabowo. Mereka menggelar reuni 212 sebagai gerakan yang dibungkus dengan isu agama. Semua orang juga tahu reuni itu diinisiasi oleh para pendukung Prabowo. Mereka membawa simbol-simbol agama, mengumpulkan massa, seolah mau membela agama. Padahal mereka mendukung Prabowo.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin mereka menggunakan nama Islam untuk mendukung calon yang dalam soal fiqh standar saja masih dipertanyakan? Apakah agama sudah sedemikian elastis yang sehingga bisa ditarik sesuai dengan kepentingan mereka saja.

Orang dari berbagai daerah kabarnya akan dikerahkan menghadiri reuni 212. Motivasi datangnya pasti macam-macam. Ada yang berharap liburan ke Jakarta sambil foto-foto di Monas. Ada juga yang berharap dapat uang saku Rp 100 ribu jika memang disiapkan. Ada yang berharap memenangkan suara partainya. Ada juga yang polos, menganggap kedatangannya itu sebagai bagian dari perjuangan agama.

Aneh kan? Kita tahu, demo 212 beberapa tahun lalu digunakan untuk menjatuhkan seorang Ahok. Sekarang Ahok sudah masuk penjara akibat tekanan mereka. Terus ketika dilakukan sekarang, buat apa lagi? Apa manfaat dan nilai ibadah dari sebuah demo reuni?

Tapi tampaknya pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak lagi penting. Demo 212 adalah momentum yang akan selalu dikenang-kenang. Dari hasil demo itu, pernah lahir 212 Mart, yang entah bagaimana nasibnya sekarang. Lahir juga usulan mengumpulkan duit jemaah untuk membangun jaringan bisnis, yang pertanggungjawabannya sampai sekarang juga gak jelas.

Tapi tokoh-tokoh yang pernah terlibat dalam demo 212 ingin menjadikan demo 212 sebagai momentum yang terus dipelihara. Untuk apa? Agar tetap ada alasan agama untuk melakukan manuver politik. Agar Islam sebagai energi yang merekatkan umat bisa ditunggangi untuk kepentingan politik.

Toh, kita tahu, reuni 212 sekrang ini tidak lebih dari kampanye mendukung Prabowo dan Sandi, yang dibalut simbol-simbol agama. Sementara Prabowo-nya sendiri, tidak perlu dipertanyakan bagaimana kualitas beragamanya.

Betapa naifnya umat Islam Indonesia yang mudah ditipu oleh gerakan politik yang menggunakan agama sebagai topeng.

Makanya, Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz, salah seorang habib kharismatik menyatakan reuni 212 yang memakai topeng agama sesungguhnya bertentangan dengan ajaran Islam. Tentu saja ulama yang lembut tutur katanya ini dan memiliki kedalaman ilmu agama, tidak bakal didengar oleh jemaah 212 yang kalap.

Para jemaah peserta reuni lebih suka mendengar ceramah Bahar bin Smith, yang menjelaskan soal bentuk vagina dan melontarkan caci-maki dari mimbar keagamaan.

Beruntunglah umat Islam yang kebetulan mendukung Jokowi. Meski ia sangat rajin menjalankan ibadah keagamaan tetapi Jokowi tidak mau menjadikan Islam sebagai tameng politiknya. Ia ingin menempatkan agama pada posisinya yang sakral.

Saya jadi ingat sebuah kisah ketika Pilkada di Solo. Jokowi adalah salah seorang kandidat untuk maju pada periode kedua. Jauh sebelum jadi wali kota ia memang sudah menginisiasi banyak acara keagamaan. Jadi, kebetulan ada acara maulid di sebuah pesantren yang memang secara rutin Jokowi hadir di sana. Biasanya sebagai wali kota, Jokowi diminta untuk memberikan sambutan. 

Tapi ketika acara maulid pada hari itu, Jokowi tampak tidak menghadirinya. Karena waktu semakin beranjak, para kiai melanjutkan acara sampai selesai. Jokowi kemudian hadir menjelang malam, duduk di bagian belakang bersama para jemaah lainnya.

Ketika selesai acara, ia ditanya kenapa tadi tidak hadir di depan panggung bersama para kiai. 

"Sekarang sedang mendekati Pilkada. Saya gak mau acara maulid untuk memperingati Kanjeng Nabi ini nanti ternodai oleh kepentingan politik. Saya kandidat wali kota, kalau saya ikut memberi sambutan, saya khawatir merusak kekhusyukan jemaah. Biarlah acara keagamaan ini tetap terjaga dari kepentingan politik," begitu alasannya. []

*Eko Kuntadhi Pegiat Media Sosial

Berita terkait
0
Investasi Sosial di Aceh Besar, Kemensos Bentuk Kampung Siaga Bencana
Lahirnya Kampung Siaga Bencana (KSB) merupakan fondasi penanggulangan bencana berbasis masyarakat. Seperti yang selalu disampaikan Mensos.