Jakarta - Peneliti di Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki motif 'terselubung' dibalik kekeuhnya DPR, merevisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Salah satunya motif kecemburuan politik para politisi terhadap KPK. "Karena KPK ini selalu dianggap lembaga terpercaya publik, sedangkan DPR malah sebaliknya," kata Wasisto kepada Tagar, Rabu, 11 September 2019.
Baca juga: Revisi Undang-Undang KPK Merupakan Lonceng Kematian
Menurut Wasisto, motif itu menjadi alasan DPR bersikukuh merevisi Undang-Undang KPK adalah dendam dan solidaritas politik. KPK yang bekerja tanpa pandang bulu pun ternyata tidak disukai oleh DPR. Apalagi banyak politisi yang terciduk, menjadi tersangka, terdakwa, dan menjadi tahanan korupsi.
"Banyak sesama kolega kader partai dibui karena tertangkap KPK," tuturnya.
Para pegawai KPK menggelar aksi di kantor KPK Jakarta untuk menentang revisi UU No. 30 Tahun 2002 dan menolak calon pimpinan KPK yang diduga bermasalah, Jumat (6/9/2019). (Foto: Antara/Desca Lidya Natalia)
Jika DPR benar-benar memperhatikan penilaian publik, menurut dia harusnya DPR berbenah diri. Sebab, penilaian buruk publik terhadap DPR bukan tanpa dasar.
"Saya pikir penilaian negatif masyarakat terhadap DPR itu juga akibat kinerjanya yang belum memuaskan," ucap Wasisto.
Sebenarnya, kata Wasisto tidak seluruh anggota DPR memiliki kinerja buruk. Karena masih ada beberapa anggota DPR yang bekerja baik. "Tapi jumlahnya tidak sebanding dengan perangai anggota DPR mayoritas yang kurang jelas kinerjanya," tuturnya.
Untuk itu, ia meminta DPR berpikir ulang dan mengakomodasi kritik masyarakat terkait revisi KPK. Pasalnya,revisi UU KPK lebih banyak unsur politis.
Apalagi, revisi UU KPK disinyalir berkaitan dengan pemilihan Calon Pimpinan (Capim) KPK yang saat ini tengah berlangsung di Komisi III DPR. []