RUU Ketahanan Keluarga Flashback ke Era Kolonialisme

Koordinator Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi menentang RUU Ketahanan Keluarga, karena tidak tepat diterapkan di era maju saat ini.
Koordinator Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi usai diskusi tentang Omnibus Law di Kantor Walhi Nasiona, Mampang PRapatan, Jakarta Selatan, Kamis, 20 Februari 2020. (foto: Tagar/Moh Yaqin).

Jakarta - Koordinator Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi mengatakan spirit Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga bermasalah, karena berupaya untuk menyeragamkan bentuk konsep keluarga. 

Hal tersebut dia pandang bertentangan dengan keberagaman yang ada di Indonesia dan dapat dikatakan kembali ke era lampau.

"Saya pikir ini akan memunculkan potensi diskriminasi yang luar biasa. Masalahnya, kata-kata bahwa perkawinan yang sah, kan banyak sekali bentuk-bentuk perkawinan yang saat ini tidak diakui oleh negara," kata Mutiara Ika usai diskusi Omnibus Law di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Kamis, 20 Februari 2020.

Ketika dalam pasal 25 RUU itu menyebutkan tugas dan kewajiban istri adalah untuk mengurus hak suami, bisa diperspektifkan untuk tidak boleh menolak ketika berhubungan seksual.

Mutiara mempertanyakan RUU Ketahanan Keluarga, bagaimana nantinya memandang masyarakat yang memiliki konsep perkawinan tersendiri. Dia mengaku kecewa, karena banyak perkawinan adat hingga saat ini masih belum diakui keabsahannya oleh negara.

"Bagaimana kemudian dengan masyarakat adat yang punya konsep sendiri, itu kan masih diperjuangkan untuk diakui oleh negara," ujarnya.

Selain itu, RUU Ketahanan Keluarga dinilai akan membuat negara kembali ke masa lalu, bahkan lebih seperti masa kolonial. Pasalnya, kesetaraan perempuan yang selama ini dibangun akan sirna, karena tugas perempuan akan diatur hanya sebatas urusan rumah tangga.

"Kemudian dengan peran antara laki-laki dan perempuan yang menjadi inti permasalah yang membuat kita kembali pada masa lalu. Seakan capaian-capaian gerakan perempuan hilang, karena menjadi bentuk domestikasi perempuan," ucapnya terheran-heran.

Alih-alih melindungi perempuan, justru yang terjadi adalah penindasan terhadap hak perempuan. Menurut data yang dihimpunnya kasus kekerasan terhadap perempuan selalu dalam kisaran angka yang cukup tinggi. 

Dengan adanya RUU Ketahanan Keluarga ini, maka angka tersebut dikhawatirkan makin tidak terkontrol.

"Kita melihat bahwa angka kekerasan dalam rumah tangga itu berbagai catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Komisi Nasional Perempuan itu mencapai urutan tertinggi. Ketika dalam pasal 25 RUU itu menyebutkan tugas dan kewajiban istri adalah untuk mengurus hak suami, bisa diperspektifkan untuk tidak boleh menolak ketika berhubungan seksual. Ini akan hilangkan konsep marital right. Perkosaan dalam rumah tangga menjadi tidak ada," kata Mutiara.

Kendati demikian, Mutiara belum mendeteksi apakah RUU Ketahanan Keluarga ini merupakan bentuk egoisme generalisasi jajaran salah satu agama atau tidak. Menurutnya, yang jelas RUU tersebut harus ditolak keberadaannya.

"Banyak disebutkan agama di situ, tidak terkhusus Islam memang. Kalau agama tertentu saya kurang tahu," ucap dia. []

Berita terkait
Gerindra Janji Sosialisasikan RUU Ketahanan Keluarga
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad sekaligus politikus Gerindra Sufmi Dasco Ahmad berjanji akan menyosialisasikan RUU Ketahanan Keluarga.
Strategi PT Gojek Menyejahterakan Keluarga Mitra
PT Gojek memberikan pelatihan memasak dan wirausaha kepada para istri mitra driver. Harapannya bisa ikut menyejahterakan keluarga mitra.