Padang - Sekelompok orang yang tergabung dalam Jaringan Peduli Perempuan (JPP) mendesak pemerintah dan DPR untuk mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Hal ini jadi sorotan karena masih banyaknya kasus kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi di Indonesia. Itu diketahui dari catatan tahunan Komnas Perempuan sejak 2016 hingga 2018, yaitu 16.943 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.
Menyoroti persoalan itu, Plt Direktur Women Crisis Center Nurani Perempuan Rahmi Meri Yenti mengakui setiap hari korban kekerasan seksual terus bertambah. Itu karena tak banyak perempuan yang berani untuk melaporkan kejadian kekerasaan yang dialaminya itu.
"Banyak korban memilih diam ketika pertama kali diperkosa oleh pelaku, karena posisinya dalam ancaman dan pelaku kekerasan seksual pada umumnya adalah orang-orang terdekat atau dikenal dekat oleh korban. Bahkan jika korban berani mengungkapkan, sering korban yang disalahkan bukan mendapat dukungan," kata Rahmi Meri Yenti saat ditemui di Padang, Senin 9 September 2019.
Pengesahan RUU seperti diulur-ulur sehingga cita-cita untuk mewujudkan lingkungan yang bebas kekerasan seksual masih menjadi mimpi.
Dari pengalamannya melakukan pendampingan dan pemulihan korban kekerasan seksual, Rahmi Meri mengungkapkan tak sedikit orang tua korban awalnya merasa takut melaporkan kasus yang dialami anak perempuannya itu. Sebab, tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan tempat tinggalnya.
"Lalu ia mempertanyakan, jika saya tidak bekerja siapa yang akan memberi nafkah anak-anak saya? Karena harus bekerja jadi si ibu tidak bisa setiap waktu mengawasi anaknya," ucap Rahmi Meri.
Selain itu, ada juga orang tua korban yang bercerita kepadanya bahwa pasca diperkosa, anak korban mengalami demam tinggi hingga setiap malam mengigau dan takut dengan laki-laki, termasuk ayahnya sendiri.
Dia mengatakan dari kondisi seperti ini, korban perlu pemulihan yang dilakukan secara komprehensif oleh ahli seperti psikolog dan psikiater. Tetapi keluarga korban mengeluh karena mereka tidak memiliki kartu BPJS Kesehatan. Sedangkan biaya untuk melakukan terapi dengan psikolog dan psikiater sangat mahal.
"Tim Panja RUU PKS di DPR RI masih belum mengesahkan RUU yang telah dibahas sejak tahun 2016 lalu. Pengesahan RUU seperti diulur-ulur sehingga cita-cita untuk mewujudkan lingkungan yang bebas kekerasan seksual masih menjadi mimpi," ujar dia.
Sementara, Anggota DPRD Sumbar terpilih Siti Izzati Aziz menyatakan dukungannya untuk pengesahan RUU PKS tersebut. Melihat, saat ini masih banyak perempuan yang belum mendapatkan keadilan dan haknya.
"DPRD sudah menyurati Kemendagri dan DPR RI agar RUU PKS ini segera di sah kan. Namun saat ini yang menjadi persoalan, anggota dewan di pusat juga akan memasuki purna bhaktinya," tutur Siti Izzati Aziz.
Kata Siti, DPRD Sumbar akan terus berkoordinasi dan terus mendorong agar RUU PKS segera disahkan.[]
Baca juga:
- Kasus Terus Meningkat, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Tak Kunjung Disahkan
- Wanita Korban Kekerasan Seksual di Aceh Diam, Ada Apa?