Jakarta - Saham raksasa e-commerce China, Alibaba melonjak dalam debut pertamanya di Bursa Saham Hong Kong (Hong Kong Stock Exchange). Saham Alibaba di perdagangan melonjak 7,7 persen menjadi 189,50 dolar Hong Kong per saham. Ini membuat Indeks Hang Seng di Bursa Saham Hong Kong naik 0,67 persen pada pembukaan perdagangan.
Perusahaan milik taipan Jack Ma itu baru saja melakukan penawaran saham perdana (IPO) pasar sekunder (secondary market). Dari IPO, Alibaba berhasil meraup 11,3 miliar dolar AS atau setara Rp 159,2 triliun. Sebelumnya pada 2014, perusahaan sudah mencatatkan sahamnya (listing) di pasar perdana (premary market) di Bursa Saham New York. IPO Alibaba merupakan salah satu penawaran saham yang paling ditunggu-tunggu tahun ini.
Saat seremoni melantai di Bursa Hong Kong, Daniel Zhang, CEO Alibaba yang menggantikan Jack Ma memukul gong sebagai tanda "rumah" perusahaan telah kembali ke Hong Kong. Zhang ditemani Sekretaris Keuangan Hong Kong Paul Chan dan Kepala Eksekutif Hong Kong Tung Chee-hwa.
Seperti diberitakan dari BBC News, Selasa, 26 November 2019, Alibaba yang berkantor di Huangzhou itu awalnya mempertimbangkan untuk melepas saham perdana di Bursa Hong Kong pada 2013. Namun tak mendapat restu dari otoritas Hong Kong. Perusahaan akhirnya memutuskan untuk mencatatkan saham di Bursa Saham New York pada tahun 2014. Dan, IPO baru bisa direalisasikan tahun ini.
Jack Ma. (Foto: Techinasia.com)
Selama bertahun-tahun Alibaba telah berkembang dari pasar (marketplace) online menjadi raksasa e-commerce, dengan diversifikasi usaha mulai dari sektor keuangan hingga layanan kecerdasan buatan (artificial intelligence - AI). Menjelang debutnya di Bursa Saham Hong Kong, perusahaan menawarkan investor di Asia untuk ikut membeli saham dan turut membangun pertumbuhan Alibaba. Menurut data Dealogic, perolehan saham Alibaba menggeser Uber di posisi teratas sebagai IPO terbesar tahun ini. Pada IPO di Bursa New York Mei lalu, Uber berhasil meraup dana 8,1 miliar dolar AS.
Alibaba semula menjadwalkan IPO pada akhir Agustus 2019. Namun ditunda karena melemahnya stabilitas keuangan dan politik di Hong Kong akibat unjuk rasa pro demokrasi yang sudah berlangsung lebih dari lima bulan. Aksi unjuk rasa pro demokrasi menentang RUU Ekstradisi membuat ekonomi Hong Kong mengalami resesi. Paul Chan, Sekretaris Keuangan Hong Kong mengatakan tidak ada tanda-tanda dua pihak yang mau mengalah membuat tahun ini diperkirakan tidak akan terjadi pertumbuhan.
Paul Chan mengatakan aksi demo telah memukul perekonomian secara komprehensif. Ia memperkiraan ekonomi pada dua triwulan terakhir akan mengalami kontraksi (istilah untuk menunjukkan resesi). "Sulit untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tahunan 0 hingga satu persen seperti perkiraan pemerintah," jelasnya seperti diberitakan dari Reuters, Senin, 28 Oktober 2019.[]
- Baca Juga: Ekonomi Hong Kong Alami Resesi Akibat Aksi Demo
- Bos Alibaba Group Masih Jadi Orang Terkaya di China