Jakarta, (Tagar 4/5/2017) – Isnu Edhi Wijaya, Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) periode 2009-2013 yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan perkara KTP elektronik (E-KTP) mengakui adanya koordinasi di Ruko Fatmawai dalam proses awal pengadaan paket E-KTP.
“Kami diundang ke Ruko Fatmawati, di sana dikenalkan dengan beberapa orang. Johannes Tan, Paulus Tanos, Johanes Marliem, Vidi Gunawan, Dedi Prijono,” kata Isnu Edhi Wijaya dalam lanjutan sidang E-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (4/5).
Dalam pertemuan di Ruko Fatmawati itu, kata Isnu, ada pembahasan soal teknologi yang nantinya akan dipakai dalam E-KTP.
“Jadi anda juga berkepentingan di acara ruko itu dan ada berapa kali pertemuan?” tanya Jaksa Penuntut Umum KPK Abdul Basir.
“Betul, seingat saya tiga kali,” jawab Isnu.
“Pertemuan pertama apa yang dibahas?” tanya jaksa lagi.
“Saya tidak ingat, membahas tentang teknologi dan bagaimana proyek E-KTP di Indonesia,” jawab Isnu.
“Pertemuan pertama dirancang membahas apa? Betul dalam rangka persiapan spesifikasi E-KTP?” tanya Jaksa Basir kembali.
“Itu bukan spesifikasi tetapi kira-kira nanti persyaratan seperti a, b, dan c kami tidak tahu spesifikasi itu nanti ke depannya bagaimana. Makanya kami diskusi disesuaikan dengan teknologi yang ada, pembuatan kartu dan lain-lain,” jawab Isnu.
Sementara itu dalam dakwaan disebutkan, Andi Agustinus alias Andi Narogong membentuk tiga konsorsium yaitu konsorsium Percetakan Negara Indonesia, konsorsium Astapraphia, dan konsorsium Murakabi Sejahtera. Seluruh konsorsium itu sudah dibentuk Andi Narogong sejak awal untuk memenangkan Konsorsium Percetakan Nasional Indonesia untuk dengan total anggaran Rp 5,95 triliun dan mengakibatkan kerugian negara Rp 2,314 triliun.
Dalam dakwaan juga disebut beberapa anggota tim Fatmawati, yaitu Jimmy Iskandar Tedjasusila, alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi, dan Kurniawan menerima masing-masing sejumlah Rp 60 juta terkait proyek sebesar Rp 5,95 triliun tersebut.
Diketahui juga, dalam proses lelang dan pengadaan itu diatur oleh Irman, Sugiharto dan diinisiasi oleh Andi Agustinus yang membentuk tim Fatmawati yang melakukan sejumlah pertemuan di ruko Fatmawati milik Andi Agustinus.
Dalam dakwaan juga disebut bahwa manajemen bersama konsorsium PNRI menerima uang sejumlah Rp 137,989 miliar dan Perum PNRI sejumlah Rp 107,710 miliar terkait proyek sebesar Rp 5,95 triliun tersebut.
Terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto. (yps/ant)