Medan - Dengan estimasi jumlah penduduk sekitar 2,3 juta jiwa, Kota Medan menghasilkan 2.000 ton sampah per hari. Artinya, satu warga menghasilkan antara 0,7 - 0,9 kilogram sampah per hari.
Dari sisi lingkungan sampah sebanyak itu bisa menjadi sumber masalah kesehatan. Namun, dari kacamata ekonomi sampah sebanyak itu bisa jadi uang, atau bernilai ekonomi.
"Dari 2.000 ton itu, 67 persen adalah sampah rumah tangga, selebihnya dari perusahaan, perkantoran dan lain-lain," kata Kepala Bidang Sumber Daya Alam dan Kemitraan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kota Medan, Ilham Nur, pada seminar lingkungan yang diadakan mahasiswa Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum (HMPSH) Universitas Pelita Harapan (UPH) di Istana Koki, Medan, Kamis 21 November 2019.
Ironisnya, 44 persen sampah itu berasal dari sisa makanan, selebihnya, 15 persen sampah berbahan plastik dan sisanya sampah organik yang dapat terurai dalam masa waktu tertentu.
Dengan kuantitas sebanyak itu, tak heran bila TPA Namo Bintang, sebagai salah tempat pembuangan akhir sampah Kota Medan, tingginya kini hampir mencapai 43 meter.
Menurut Andi Tonggo Michael, dosen Fakultas Hukum UPH Medan, yang hadir sebagai narasumber dan memaparkan aturan pengelolaan sampah dari sisi hukum mengatakan, sebenarnya persoalan sampah di Kota Medan bisa diatasi dengan mudah. Tinggal bagaimana pemerintah serius menyikapi dan menjalankan program yang terukur untuk masa depan.
Salah satunya ialah usaha pengelolaan sampah akan bernilai ekonomi, seperti pengolahan sampah menjadi biogas, atau menjadi sumber energi baru terbarukan.
Hal ini mengacu pada Undang-Undang No 18 Tahun 2008 Pasal 1 tentang Pengelolaan Sampah. Disebutkan, sampah dari kegiatan sehari-hari manusia atau proses alam yang berbentuk padat maupun zat organik dapat ditukar menjadi uang.
Andi Tonggo Michael, dosen Fakultas Hukum UPH Medan, (Foto: Tagar/Tonggo Simangunsong)
"Tapi ini kan pemerintah sulit sekali memberikan izin, padahal sebenarnya sudah ada solusi yang bisa menghasilkan secara ekonomi, tinggal menjalankan saja. Berikan kesempatan untuk pengelolaan sampah ini, daripada membuat program yang hasilnya tidak efektif," kata Andi.
Awalnya, sedotan logam itu dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengurangi penggunaan plastik, namun nyatanya tidak
Andi tidak sepaham apabila penanggulangan sampah di Kota Medan hanya sebatas penekanan penyadaran diri kepada masyarakat. Seperti sebelumnya dikatakan Ilham, salah satu upaya untuk menekan sampah, ialah meningkatkan kesadaran diri dan mengubah pola pikir.
"Masih banyak masyarakat yang suka buang sampah sembarangan, termasuk membuang sampah ke sungai, ini kan artinya kesadaran masyarakat kita masih rendah," ujarnya.
Penyadaran dari Kampus
Seminar mengenai sampah dan lingkungan itu sendiri merupakan salah satu upaya himpunan mahasiswa hukum UPH di bidang lingkungan.
Ketua Panitia Seminar Cheryl Deslyn mengatakan, seminar ini bertujuan untuk menambah wawasan mahasiswa mengenai sampah dan lingkungan. Sehingga, ke depan merekalah yang akan menjadi agent of change untuk penyadaran lingkungan untuk generasi mendatang.

"Ini adalah seminar pertama dalam skala besar yang kita lakukan, rencananya akan kita buat lagi. Tidak hanya mahasiswa hukum, tapi dari fakultas lain di UPH kita ajak untuk ikut, karena ini tema yang sangat penting," katanya terkait seminar yang dihadiri seratusan mahasiswa itu.
Senada dikatakan Presiden Mahasiswa UPH, Amanda Fitriana, salah satu topik menarik yang diangkat pada seminar ini ialah penggunaan sedotan logam (metal straw) untuk pengganti sedotan plastik.
"Awalnya, sedotan logam itu dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengurangi penggunaan plastik, namun nyatanya tidak. Sekarang ini muncul produsen yang membuat metal straw dari bahan tidak ramah lingkungan, dengan tujuan bisa menjual produknya dengan murah. Artinya, bukan menjadi solusi, tapi metal straw jadi masalah baru," katanya.[]