Banda Aceh - Berbicara soal ganja seakan tak ada habisnya. Tanaman yang dinilai masih kontroversial ini sempat menjadi bahan yang ramai diperbincangkan di Indonesia beberapa waktu lalu.
Hal tersebut muncul setelah anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS Rafli Kande meminta agar tanaman tersebut diekspor ke luar negeri. Setelah menuai kontroversi dari berbagai kalangan, Rafli akhirnya menarik usulan ekspor ganja itu. Penarikan tersebut setelah mendapat teguran keras dari fraksi yang menaunginya.
Ganja digunakan untuk hal-hal positif dan tidak memabukkan, tidak ada yang negatif seperti sekarang ini.
Aceh dan ganja memang dua hal yang tak dapat dipisahkan. Provinsi yang dijuluki Serambi Mekkah ini dikenal sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki tanaman tersebut. Umumnya, tanaman ganja ditanam di tengah-tengah hutan berantara, perbukitan dan pegunungan.
Baca juga: Anggota DPR Aceh Kaitkan Ganja dengan Cengkeh
Pemerhati Sejarah dan Budaya Aceh, Tarmizi Abdul Hamid menuturkan, ganja sebenarnya sudah ada sejak masa Kesultanan Aceh. Dulu, ganja menjadi salah satu komoditi penting dalam masyarakat Aceh. Selain diyakini sebagai obat-obatan, ganja juga digunakan pada makanan.
Menurut Cek Midi, sapaan akrab Tarmizi Abdul Hamid, ganja digunakan pada makanan karena memiliki beberapa kegunaan, seperti penyedap rasa dan pengawet makanan.
Baca juga: Optimis Legalkan Ganja Kurangi Kemiskinan di Aceh
“Kalau sekarang kan pengawet sudah menggunakan bahan-bahan kimia, kalau dulu tidak, dulu ganja bisa menjadi pengawet yang alami dan tidak berbahaya,” kata Cek Midi saat wawancara dengan Tagar, Senin, 10 Februari 2020.
Ia menjelaskan, semua tentang ganja dan khasiatnya pernah disebutkan dalam kitab Tajul Muluk yang merupakan warisan Kesultanan Aceh. Dalam manuskrip tersebut juga disebutkan bahwa ganja cukup akrab dengan kehidupan masyarakat Aceh. Namun, saat itu masyarakat tak pernah menyalahgunakan tanaman tersebut.
“Semua digunakan untuk hal-hal positif dan tidak memabukkan, tidak ada yang negatif seperti sekarang ini,” tutur Cek Midi yang juga kolektor naskah kuno.
Pemerhati Sejarah dan Budaya Aceh, Tarmizi Abdul Hamid saat ditemui di salah satu warung kopi di Banda Aceh, Aceh. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)
Baca juga: Peneliti Aceh Dukung Rafli Usul Ekspor Ganja
Sebelumya, peneliti ganja dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Profesor Musri Musman mengatakan, tanaman ganja lebih banyak maslahatnya daripada mudarat. Oleh karena itu, ia mendukung agar pemerintah melegalkan tanaman tersebut.
“Dalam perspektif kita lakukan, hitung-hitung lebih banyak maslahat daripada mudarat, dalam konteks ini hanya satu THC itu yang menjadi mudaratnya, ada 1262 senyawa, hanya satu yang menyebabkan itu dilarang,” kata Musri dalam sebuah diskusi di Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Jumat, 31 Januari 2020 lalu.
Dalam kesempatan itu, ia juga menyebutkan ada beberapa kegunaan atau manfaat tanaman ganja, untuk kebutuhan medis ataupun kebutuhan lainnya. Dari sekian manfaat, lima di antaranya yaitu untuk makanan, pakaian, bahan bangunan, kertas dan alat-alat kosmetik.
"Selain kesehatan, itu semua (kegunaannya) untuk makanan, pakaian, bahan bangunan, kertas, itu dapat dipenuhi oleh ganja, karena seratnya akarnya, kayunya, bunganya itu semua dapat digunakan, kosmetik juga dapat digunakan," ujar Musri.
Musri menyakini apabila tanaman tersebut dilegalkan, maka masyarakat Aceh akan sejahtera. Namun, pengelolaannya harus melibatkan masyarakat-masyarakat dari kalangan bawah.
"InsyaAllah kalau itu terjadi, maka setiap wilayah akan memiliki pabrik-pabrik pengolahan seperti itu dan pemerintah harus mengatur regulasinya ini," katanya. []