Jakarta – Hari Pahlawan diperingati setiap tanggal 10 November setiap tahunnya yang bertujuan mengingatkan kita pada pertempuran Surabaya tahun 1945. Pertempuran yang terkenal dengan slogan "Merdeka atau Mati" ini, merupakan pertempuran pertama yang terjadi setelah kemerdekaan Indonesia.
Merdeka atau Mati! Sekali Merdeka tetap Merdeka!
Kejadian ini bermula saat Belanda mengibarkan bendera negaranya di hotel Yamato Surabaya yang sudah pasti memancing kemarahan bangsa Indonesia. Para pejuang, kemudian naik ke hotel Yamanto dan merobek bagian berwarna biru dari bendera sehingga hanya tersisa warna merah dan putih saja.
Insiden hotel Yamanto, membuat pertempuran Indonesia dengan tentara Inggris mulai terjadi pada tanggal 27 Oktober 1945. Melihat keadaan yang semakin memanas, Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Soekarno untuk meredakan situasi.
Ilustrasi Pertempuran Surabaya 1945. (Foto:Tagar/Merdeka.com)
Pada tanggal 29 Oktober 2019, pihak Inggris dan Indonesia telah menandatangani perjanjian gencatan senjata. Ini membuat keadaan sempat stabil. Namun lama berselang terjadi kesalahpahaman yang mengakibatkan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby yang merupakan pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur.
Terbunuhnya Mallaby, membuat Inggris murka dan meminta Indonesia menyerahkan persenjataan serta menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Peristiwa 10 November 1945. (Foto:Tagar/MurdanBlog)
Kemudian Inggris melakukan "Pembersihan Berdarah" di semua sudut kota pada 10 November 1945 yang diawali bom udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dengan mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Kemudian, berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.
Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini, mengakibatkan ribuan dari mereka menjadi korban, baik meninggal maupun terluka.
Bung Tomo. (Foto:Tagar/wikipedia)
Para tokoh seperti Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda yang dikenal dengan sebutan "arek-arek Suroboyo" sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Sementara tokoh-tokoh agama lain dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan.
Perlawanan rakyat ini, awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, tetapi kian hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum akhirnya seluruh kota Surabaya jatuh di tangan Inggris.

Dalam perlawanan Surabaya ini, sekitar 6.000 pahlawan bangsa telah gugur dan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari kota mereka.
Dari peristiwa ini juga, munculnya semboyan "Merdeka atau Mati" dan Sumpah Pejuang Surabaya yang dideklarasikan sebagai berikut:
Tetap Merdeka!
"Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggungjawab bersama, bersatu, ikhlas berkorban dengan tekad: Merdeka atau Mati! Sekali Merdeka tetap Merdeka!".
Surabaya, 9 November 1945, jam 18:46
Meskipun kalah, pertempuran ini membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaannya dan menarik perhatian internasional. Sehingga Belanda tidak lagi memandang Republik sebagai kumpulan pengacau tanpa dukungan rakyat.
- Baca Juga : Sejarah Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 5 November
- Baca Juga : Sejarah Hari Keuangan Nasional 30 Oktober
Pertempuran ini, juga meyakinkan Inggris untuk mengambil sikap netral dalam revolusi nasional Indonesia sampai akhirnya beberapa tahun kemudian, Inggris mendukung perjuangan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).[]