Jakarta - Rumah Sakit Umum Cut Meutia di Aceh Utara, satu di antara rumah sakit rujukan bagi pasien virus corona penyebab penyakit Covid-19. Rumah sakit rujukan Covid-19 memiliki ruang perawatan sesuai standar internasional untuk mengisolasi pasien virus corona. Lantas, siapa Cut Meutia yang menjadi nama rumah sakit tersebut?
Profil Cut Nyak Meutia
Ia adalah Cut Nyak Meutia, lahir pada tahun 1870 di daerah Pirak, Aceh Utara. Ayahnya adalah Teuku Ben Daud Pirak seorang ulubalang (pemimpin pemerintahan) daerah Pirak dan ibunya Cut Jah. Cut Meutia mempunyai empat saudara laki-laki yaitu Teuku Cut Beurahim, Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasan, dan Teuku Muhammad Ali.
Ayahnya Cut Meutia dikenal sebagai pemimpin pemerintahan yang bijaksana dan tegas di daerah Pirak. Selain itu, ayahnya juga dikenal sebagai seorang ulama terkemuka di daerah tersebut. Daerah Pirak merupakan daerah yang memiliki sistem pemerintahan tersendiri.
Cut Meutia menikah dengan pemuda bernama Teuku Syamsarif yang dikenal dengan sebutan Teuku Chik Bintara. Namun pernikahan tersebut tidak berlangsung lama lantaran sikap suaminya yang dianggap lemah dan cenderung ingin bekerja sama dengan Belanda. Kemudian, Cut Meutia menikah lagi dengan Teuku Chik Muhammad yang dikenal sebagai Teuku Chik Tunong, yang tidak lain adalah saudara dari Teuku Syamsarif.
Bersama suami keduanya ini, ia memiliki cita-cita yang sama, yakni menentang penjajahan Belanda di bumi Aceh. Akhirnya keduanya hijrah ke gunung untuk melakukan perlawanan dengan Belanda dengan taktik gerilya.
Cut Meutia dalam uang kertas Rp 1.000 keluaran tahun 2016. (Foto: Wikipedia)
Awal Perlawanan Cut Meutia Terhadap Belanda
Perlawanannya terhadap Belanda dimulai pada tahun 1901. Ketika itu Sultan Aceh yakni Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah juga melakukan perlawanan hingga ke pedalaman Aceh. Di medan perang, pasukan yang dipimpin Teuku Chik Muhammad pernah bertarung sengit melawan Belanda yang terjadi dari Juni hingga Agustus 1902.
Pada bulan Januari 1903, terdengar kabar Sultan Aceh berserta para panglimanya termasuk Panglima Polim Muhammad Daud dan para petinggi kerajaan lain menyerah atau turun gunung. Walaupun kabar ini awalnya diragukan suami Cut Meutia, namun ternyata kabar tersebut benar adanya.
Dikutip dari buku catatan Gedenkboek van het Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden tahun 1890-1940 disebutkan, Teuku Chik Muhammad turun gunung dan melapor di Lhokseumawe pada bulan Oktober 1903.
Selanjutnya, Teuku Tunong dan Cut Meutia tinggal di wilayah Keureutoe kemudian pindah ke wilayah Panton Labu. Namun karena insiden di daerah Meunasah Meurandeh Paya membuat Teuku Tunong ditangkap tentara Belanda karena diduga terlibat dalam pembunuhan pasukan Belanda. Suaminya dieksekusi dengan cara ditembak mati di tepi pantai Lhokseumawe.
Dari pernikahannya dengan Teuku Cik Tunong, Cut Meutia memiliki seorang anak bernama Teuku Raja Sabi. Sebelum meninggal, Teuku Cik Tunong berwasiat kepada Pang Nangroe agar menikahi istrinya dan menjaga anaknya.
Cut Meutia Berjuang Bersama Pang Nangroe
Cut Nyak Meutia kemudian menikah dengan Pang Nangroe sesuai wasiat dari suaminya. Setelah menikah, perjuangan melawan Belanda kembali dimulai dengan basis perlawanan di daerah Buket Bruek Ja.
Perlawanan Cut Nyak Meutia dilakukan dengan strategi yang sudah diatur Pang Nangroe dengan taktik gerilya di hutan-hutan dan kemudian menyerang pos-pos penjagaan pasukan Belanda. Pada tahun 1907, Pasukan Pang Nangroe bersama Cut Meutia menyerang pos pasukan Belanda yang mengawal para pekerja kereta api. Penyerangan itu membuat beberapa serdadu Belanda tewas dan yang lainnya luka-luka.
Pada bulan Juni 1907, Pasukan pang Nangroe kembali menyerang pos Belanda di daerah Keude Bawang yang mengakibatkan seorang serdadu Belanda tewas dan yang lainnya terluka. Pang Nagroe juga melalukan sabotase jalur logistik dan kereta api. Taktik perang gerilya yang dilakukan Pang Nangroe bersama Cut Meutia ini membuat Belanda kesulitan dalam mengatasinya.
Penyerangan Cut Nyak Meutia bersama suaminya terus berlanjut dengan melakukan penggempuran ke pos-pos Belanda untuk melemahkan kekuatan musuh. Namun pada bulan September 1910, Pang Nangroe gugur setelah terkena tembakan dari Belanda di wilayah Paya Cicem dan dimakamkan di samping Masjid Lhoksukon.
Cut Nyak Meutia selanjutnya mengambil alih kepemimpinan pasukan dan melanjutkan perlawanannya dengan Belanda. Basis pertahanan kemudian pindah ke Gayo dan Alas untuk bergabung dengan pasukan lain yang dipimpin Teuku Seupot Mata.
Cut Meutia Wafat
Pasukan Belanda menggencarkan pengejaran terhadap pasukan Cut Meutia pada bulan Oktober 1910. Hal itu membuat Cut Meutia memindahkan pasukannya dari gunung ke gunung untuk menghindari pengepungan yang dilakukan Belanda.
Hingga pada tanggal 24 Oktober 1910 di daerah Alue Kurieng, terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dan pasukan yang dipimpin Cut Meutia. Dalam pertempuran ini Cut Meutia gugur. Sebelum wafat, Cut Meutia menitipkan anaknya kepada Teuku Syech Buwah untuk dijaga.
Pemerintah Indonesia menganugerahi gelar Pahlawan Indonesia untuk Cut Meutia melalui SK Presiden Nomor 107/1964 di tahun 1964. Pemerintah Indonesia juga mengabadikannya dalam pecahan uang 1.000 mata uang rupiah pada tahun 2016.
Keaslian Gambar Cut Meutia di Pecahan Mata Uang Diragukan
Beberapa pihak menganggap foto dalam uang kertas tersebut bukan wajah asli Cut Meutia. Foto wajah Cut Meutia itu bersumber dari hasil jepretan fotografer Belanda Christiaan Benjamin Nieuwenhuis pada tahun 1901. Foto tersebut kemudian dijadikan postcard (kartu pos) dan digunakan hingga tahun 1905. Sampai sekarang foto tersebut masih bisa dilihat di situs KITLV Universitas Leiden Belanda.
Foto yang diambil pada tahun 1901 itu diberi nama Voorname Atjehsche vrouw (Perempuan Aceh) dengan kode 82872. Beberapa pihak berpendapat kalau itu merupakan sosok asli Cut Meutia, seharusnya keterangannya adalah Cut Meutia, bukan Voorname Atjehsche vrouw (Perempuan Aceh). []
Baca juga:
- Siapa Kardinah, Namanya Jadi RS Covid-19 di Tegal
- Siapa Kariadi, Namanya Jadi RS Covid-19 di Semarang