Sleman - Suporter sepak bola menggelar pertemuan untuk menyatakan sikap kepada PSSI. Para pendukung tim
yang tergabung dalam Suporter Indonesia Bermartabat (SIB) melakukan kopdar alias kopi darat di Bangkalan, Madura, Minggu 6 Oktober 2019.
Pertemuan atau kopdar itu dihadiri berbagai elemen suporter di seluruh Indonesia. Tidak kurang 35 kelompok suporter yang hadir dalam kopdar yang digelar di Rumah Singgah Kreatif Desa Pesanggrahan, Kwanyar, Bangkalan.
Tercatat kelompok suporter PSS Sleman, Slemania dan Brigata Curva Sud, yang merencanakan datang. Selain itu ada Pasoepati (Persis Solo), Brajamusti dan The Maident (PSIM Yogyakarta), Paserbumi dan CNF (Persiba Bantul), Panser Biru dan Snex (PSIS Semarang), Roban Mania, Roban Rewo-rewo, Brigata Ultras Roban (Persibat Batang), dan masih banyak lagi.
Lagipula, suporter tidak memiliki suara untuk ikut pemilihan. Jadi kami tidak akan mendukung siapa pun yang ingin menjadi Ketua Umum PSSI. Bahkan kami pun merasa tak perlu menerangkan soal kriteria ketua umum
"Dalam pertemuan ini suporter akan lebih banyak berdiskusi yang kemudian menyatakan sikap kepada PSSI. Ini demi sepak bola Indonesia yang bermartabat. Kami juga ingin menyampaikan hal-hal terkait kongres PSSI yang mengagendakan pemilihan Ketua Umum PSSI," kata Lilik Yulianto, Koordinator SIB.
Menurut dia SIB tidak akan memunculkan atau memberi dukungan terhadap figur calon Ketua Umum PSSI. Bahkan suporter tidak akan menyebut kriteria yang diperlukan bagi calon pemimpin federasi.
"Lagipula, suporter tidak memiliki suara untuk ikut pemilihan. Jadi kami tidak akan mendukung siapa pun yang ingin menjadi Ketua Umum PSSI. Bahkan kami pun merasa tak perlu menerangkan soal kriteria ketua umum," ujar mantan Ketua Umum Slemania ini.
Hanya SIB mendukung sepenuhnya pemberantasan mafia bola. Menurut Lilik suporter berharap pemberantasan itu harus berlanjut untu membersihkan sepak bola nasional dari unsur mafia.

Menanggapi masih adanya insiden keributan antarsuporter, Lilik berharap suporter sesungguhnya harus selalu diedukasi. Pasalnya, suporter itu sesungguhnya mudah diatur karena mereka hanya ingin menyaksikan pertandingan yang berjalan sportif.
"Kadang saat menyaksikan pertandingan yang berat sebelah atau menguntungkan tim tertentu, suporter akan kecewa. Apalagi bila keputusan yang menguntungkan salah satu tim itu terlihat nyata," tuturnya.
"Selain itu, suporter harus terus diedukasi. Bila terjadi pelanggaran tidak hanya klub yang disanksi tetapi suporter juga perlu disanksi," kata Lilik lagi.
Menurut dia informasi melalui media sosial yang belakangan kerap menjadi pemicu keributan antarsuporter. Diawali dengan saling ejek di media sosial, suporter kemudian berulah di pertandinngan.
"Media sosial kerap menjadi pemicu karena memancing kelompok suporter untuk ribut di stadion. Padahal, kadang kita tidak tahu apakah akun yang memancing-mancing emosi itu berasal dari suporter. Bisa juga hanya oknum-oknum yang bukan dari dua suporter yang timnya akan bertanding dan hanya ingin bikin rusuh saja," ujarnya.
Menurutnya sanksi seperti pertandingan tanpa suporter yang mengenakan atribut klub. Suporter pun akhirnya tetap datang ke stadion dengan memakai batik, misalnya.
"Larangan masuk stadion kepada suporter yang berulah bisa diberlakukan. Ini bisa membuat jera suporter karena tidak boleh datang ke stadion," kata Lilik memungkasi. []