Jakarta - Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia, terdapat sejumlah kelompok yang resisten atau cenderung menolak untuk divaksin Covid-19.
Di antaranya kelompok perempuan, usia semakin muda, kalangan muslim, orang pedesaan, kelompok pendidikan dan pendapatan yang semakin rendah.
Dipaparkan dalam rilis survei nasional pada Minggu, 21 Februari 2021 dengan topik Siapa Enggan Divaksin ? Tantangan dan Problem Vaksinasi Covid-19 di Indonesia, dengan menghadirkan narasumber Direktur Eksekuif Indikator Burhanuddin Muhtadi, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Gubernur Jabar Ridwan Kamil, anggota DPR RI dan dari praktisi kesehatan.
Survei melibatkan 1.200 responden di Tanah Air menggunakan metode kontak telepon yang dilakukan sejak 1-3 Februari 2021.
Dalam bagian kesimpulan hasil survei, Burhanuddin Muhtadi mengatakan, hantaman besar wabah corona terhadap perekonomian warga, tampak belum menunjukkan pergerakan positif dalam satu tahun masa pandemi.
Meski ada kecenderungan menurun, tapi mayoritas masih menilai bahwa kondisi perekonomian nasional saat ini buruk atau sangat buruk, dan penilaian positif tampak tidak mengalami perubahan berarti sejak Juli 2020 lalu.
Mayoritas warga sadar dengan virus corona, dan mayoritas warga pula menilai wabah ini merupakan ancaman bagi kesehatan dan perekonomian, baik secara nasional maupun pribadi warga.
Keberadaan vaksin kemudian diharapkan menjadi solusi atas merebaknya wabah virus corona. Mayoritas warga sadar bahwa pemerintah sudah memulai program vaksinasi.
Namun warga tidak lantas bersedia begitu saja diberi vaksin, terutama karena alasan efek samping vaksin yang menurut warga belum dipastikan.
Alasan tidak bersedia diberi vaksin juga karena efektivitas vaksin dalam mencegah tertular virus corona, merasa sehat atau tidak membutuhkan vaksin, dan persoalan jika harus membayar atau membeli vaksin.
Kemudian, warga juga tampak tidak begitu antusias ketika membayangkan tentang vaksin Covid-19.
Pada dimensi yang positif (optimis dan penuh harap), antusias warga jauh lebih besar ketimbang pada dimensi yang negatif (takut dan cemas) terhadap vaksin.
Namun, mayoritas warga cenderung berada di tengah dan ke arah level antusias yang lebih rendah terhadap vaksin, pada dimensi optimis dan penuh harap.

"Ini kemungkinan besar karena mayoritas warga hanya merasa kadang-kadang, jarang atau bahkan tidak pernah merasa takut tertular virus corona (55.1 persen), sehingga warga tidak merasa memiliki kebutuhan mendesak untuk mendapatkan vaksin Covid-19," papar Burhanuddin.
Dia menyebut, berdasarkan analisis hubungan antar dua variabel, tampak mayoritas warga bersedia menerima vaksin, di hampir setiap kelompok demografi, kecuali pada kelompok usia 22-25 tahun dan berpendidikan SLTP.
Ini kemungkinan karena persoalan sosialisasi terkait perilaku pandemi yang kurang baik kepada publik
"Tapi ada kecenderungan warga yang bersedia divaksin lebih rendah pada kelompok perempuan, usia semakin muda, kalangan muslim, orang pedesaan, kelompok pendidikan dan pendapatan yang semakin rendah," bebernya.
Kemudian, semakin tidak merasa takut tertular virus, semakin tidak percaya efektivitas vaksin, dan semakin religius, kesediaannya untuk divaksin cenderung semakin rendah.
Burhanuddin mengungkap, pada basis partisan Pilpres 2019, basis Prabowo-Sandi lebih rendah kesediaannya untuk divaksin.
Namun demikian, mayoritas kelompok yang bersedia divaksin, di tiap segmen tersebut di atas, tidak bersedia divaksin jika harus membayar atau membeli.
Sementara berdasarkan analisis multivariate secara simultan, tampak etnis, agama, tingkat pendidikan, tingkat ancaman tertular virus dan tingkat kepercayaan terhadap efektivitas vaksin, berpengaruh signifikan terhadap kesediaan warga untuk diberi vaksin. Sementara variabel lainnya tidak berpengaruh signifikan.
"Etnis berpengaruh signifikan dan positif terhadap kesediaan untuk divaksin. Kelompok etnis Jawa lebih tinggi kesediaannya terhadap vaksin. Agama berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kesediaan untuk divaksin, kelompok muslim lebih resisten terhadap vaksin. Kehalalan vaksin harus menjadi syarat mutlak, karena 81.9 persen warga hanya mau divaksin jika sudah dipastikan kehalalannya," terangnya.
Baca juga:
- Lebih Murah? Ini 4 Fakta Vaksin Nusantara Buatan Terawan
- Benarkah Vaksin Nusantara ala Terawan Kebal Seumur Hidup
Kemudian tingkat pendidikan, tingkat ancaman tertular virus dan tingkat kepercayaan terhadap efektivitas vaksin, berpengaruh signifikan dan positif. Yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin merasa terancam akan tertular virus, dan semakin percaya terhadap efektivitas vaksin, maka kesediaan untuk divaksin semakin tinggi.
"Ini kemungkinan karena persoalan sosialisasi terkait perilaku pandemi yang kurang baik kepada publik," jelasnya.
Dikatakan, berbagai isu dalam penyediaan vaksin (efektivitas vaksin, efek samping vaksin, kehalalan, dan bayar atau gratis) kemungkinan besar saling terkait dalam membentuk persepsi publik.
Namun, tampak ada hal yang lebih mendasar lagi, mayoritas warga hanya sedikit merasa terancam dari pandemi, sehingga tidak memiliki kebutuhan yang mendesak untuk divaksin, terlebih jika harus membayar dalam kondisi pelemahan perekonomian seperti saat ini.
Pihak berwenang, sambung Burhanuddin, harus lebih memiliki keberanian terkait dengan penanggulangan pandemi.
"Jika vaksin merupakan harapan puncak agar persoalan ini bisa semakin cepat tuntas, maka isu-isu yang membuat publik ragu harus bisa dipastikan. Vaksin efektif, efek samping vaksin sangat minim, halal, dan gratis," tandasnya.[]