Jakarta - Peraih Nobel perdamaian berkewarganegaraan Myanmar, Aung San Suu Kyi membantah tuduhan bahwa negaranya terlibat pembantaian massal etnis (genosida) muslim Rohingya pada sidang di Pengadilan Internasional (International Court of Justice - ICJ) di Den Haag, Belanda.
Myanmar diajukan ke ICJ, pengadilan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) oleh Gambia - sebuah negara kecil di Afrika Barat atas tuduhan keterlibatan dalam pembantaian massal, pemerkosaan dan pengusiran minoritas Rohingya. Myanmar yang sebelumnya bernama Burma dituduh telah melanggar Konvensi Internasional tentang Genosida tahun 1948.
Menurut Suu Kyi, tuduhan Gambia soal genosida itu tidak lengkap dan menyesatkan mengenai situasi faktual yang ada di negara bagian Rakhina, tempat tinggal minoritas Rohingya. Masalah yang terjadi di Rohingya sudah terjadi sejak berabad-abad yang lalu. "Tentunya dalam situasi ini, genosida tidak bisa menjadi satu-satunya hipotesis," katanya saat menyampaikan sanggahannya di ICJ, Rabu, 11 Desember 2019 waktu setempat.
Sekelompok pengungsi Rohingya berjalan di jalan berlumpur setelah melewati perbatasan Bangladesh-Myanmar di Teknaf, Bangladesh, Jumat (1/9). (Foto: Ant/Reuters/Mohammad Ponir Hossain)
Kata Suu Kyi lagi,"Mungkinkah kami yang secara aktif melakukan investigasi, menuntut dan menjatuhkan sanksi kepada tentara yang dituduh melakuan kesalahan, ada niat genosida?" Suu Kyi menyebutkan, militer Myanmar mungkin telah menggunakan "kekuatan yang tidak proporsional." Tapi itu tidak bisa dijadikan bukti kami berupaya untuk memusnahkan kelompok minoritas," katanya seperti diberitakan dari aljazeera.com.
Menurutnya situasi yang terjadi di negara bagian Rakhine begitu kompleks. Suu Kyi mengakui penderitaan yang dialami monoritas Rohingya. Banyak diantara mereka yang telah melarikan diri yang negara yang mereka anggap lebih aman seperti Bangladesh.
Ia menegaskan berulangkali bahwa insiden berdarah pada 2017 sebagai konflik internal. Menurut Suu Kyi, militer Myanmar hanya melakukan pembelaan terhadap serangan yang dilakukan kelompok militan bersenjata Rohingya seperti Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).

Kedatangan Suu Kyi yang pernah menjadi icon hak asasi manusia (HAM) ketika melawan militer tirani negaranya, ke Den Haag mengejutkan kalangan kritikus. "Kami menyaksikan salah satu momen sejarah yang mengejutkan: Suu Kyi menyangkal dan menolak adanya temuan genosida terhadap Rohingya," kata Maung Zarni, seorang aktivis dan anggota mayoritas umat beragama Budha di Myanmar. "Sebagai orang Burma, saya sangat malu dan marah pada yang disampaikan Suu Kyi. Ia telah melakukan kebohongan dan tipuan," kata Maung Zarni.
Sanksi Amerika
Amerika Serikat (AS) pada Selasa, 10 Desember 2019, menjatuhkan sanksi kepada empat pimpinan militer Myanmar termasuk Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing. Ini merupakan tindakan terberat yang diambil pemerintah AS atas dugaan pelanggaran HAM terhadap Rohingya dan minoitas lainnya.
Myanmar harus bertanggungjawab atas operasi militer terhadap minoritas Rohingya pada 2017. Operasi militer ini telah menimbulkan banyak korban jiwa dan sekitar 730.000 warga mengungsi ke negara tetangga Bangladesh.
Departemen Keuangan AS dalam sebuah pernyataan menyebutkan bahwa pasukan militer Burma telah melakukan pelanggaran berat HAM di bawah komando Min Aung Hlaing."Selama masa tu, anggota kelompok etnis minoritas terbunuh atau terluka oleh tembakan, ada yang dibakar di rumah mereka sendiri," kata pernyataan itu.[]
Baca Juga: