Jakarta, (Tagar 26/7/2018) - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan keluhan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal hubungannya yang tak baik dengan Ketua Umum PDI Perjuangan merupakan keluhan melankolis dan keluhan musiman.
“Monggo silakan lihat dalam jejak digital maupun media cetak, bahwa menjelang pemilu pasti Pak SBY selalu menyampaikan keluhannya tentang Ibu Megawati. Padahal Ibu Megawati baik-baik saja. Selama ini beliau diam,” ucapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Tagar News, di Jakarta, Kamis (26/7).
Hasto menjelaskan gagalnya Demokrat bergabung ke Koalisi Jokowi karena kalkulasi rumit yang dilakukan SBY. “Jadi sebaiknya pemimpin itu bijak, kalau tidak bisa berkoalisi dengan Pak Jokowi karena sikapnya yang selalu ragu-ragu, ya sebaiknya introspeksi dan jangan bawa nama Ibu Mega seolah sebagai penghalang koalisi," tukas Hasto.
Politikus PDI Pejuangan Eva Kusuma Sundari bahkan menyebutnya sebagai strategi permanen yang digunakan SBY, yaitu menjadikan Megawati sebagai black goat atau kambing hitam.
"Itu strategi permanen SBY, menyalahkan-menyalahkan Bu Megawati. Padahal Bu Mega diam melulu. Bu Mega dijadikan black goat melulu sejak 2004, jadi korban yang sesungguhnya ya Bu Mega," tuturnya kepada Tagar News, di Jakarta, Kamis (26/7).
Menurut Anggota Komisi I DPR ini, presiden keenam itu tak seharusnya secara terus-menerus mempolitisasi wilayah pribadi, antara dirinya dengan Megawati. "Ini ranah pribadi harusnya tidak dipolitisasi terus-menerus secara periodik," tegasnya.
SBY Pasang Harga Tinggi
Eva, yang mempertanyakan sikap SBY karena selalu mengkambing-hitamkan Megawati, kemudian membeberkan kenapa pada akhirnya Partai Demokrat hengkang dari koalisi Jokowi.
"Penghalang SBY ya karena ketinggian pasang harga dan syarat, putranya harus jadi cawapres, padahal sudah ditawari menteri oleh Jokowi," bebernya lagi kepada Tagar News.
Eva menambahkan Koalisi Pilpres 2019, bukan dipimpin Megawati, tapi dipimpin langsung oleh Jokowi. Jadi, meski PDI Perjuangan partai pengusung Jokowi, posisinya sama dengan partai lain, yakni anggota koalisi.
"Koalisi itu ketuanya presiden, bukan Bu Mega. PDI Perjuangan hanya anggota koalisi seperti Partai Golkar, PPP, PKB, Partai Nasdem, Partai Hanura, dan lainnya," jelas Eva.
Peran melankolis yang sedang dimainkan SBY ini pun, menurut Eva sudah mulai diketahui publik.
"Sudah mulai muncul arus balik, Bu Mega yang sekarang jadi obyek dipersalahkan malah dapat simpati karena dipolitisasi. Kita hormati pilihan Bu Mega untuk diam," tandasnya.
SBY Main Political Victim?
Pengamat Politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing, punya pandangan bahwa SBY tak seharusnya menyampaikan pembicaraan pribadi antara dirinya dengan Jokowi ke ranah publik.
"Relasi hubungan komunikasi SBY-Jokowi terjadi di panggung belakang, sepertinya pembicaraan sesama mereka yang menurut saya privat. Sejatinya hal tersebut tidak harus disampaikan Pak SBY ke ruang publik juga," paparnya saat dihubungi Tagar News, di Jakarta, Kamis, (26/7).
Menurutnya, memang dalam sebuah dinamika politik ada kemungkinan politisi bermain political victim (memposisikan diri sebagai korban politik). Seperti, pernyataan SBY soal hubungannya dengan Megawati bertujuan mencari simpati publik.
"Boleh jadi, maksudnya mencari simpati publik bahwa persoalan itu tidak pada dirinya. Tetapi kepada sumber konflik itu," ujar Emrus.
Namun, ia tak bisa memastikan SBY memposisikan diri sebagai political victim atau bukan.
"Memang acapkali itu dimainkan oleh politisi tetapi apakah SBY tujuannya ke sana? Hanya SBY-lah yang tahu," imbuhnya.
Terkait "laku" atau tidaknya cara SBY tersebut, diakui Emrus masih laku di hadapan publik. "Saya pikir iya, masih laku karena masyarakat itu kan ada semacam keinginan mendasar pada diri manusia terlalu berpihak kepada orang yang diposisikan menjadi korban, atau diposisikan menjadi teraniaya," terangnya.
Emrus pun berharap, tidak ada lagi aktor politik yang memposisikan diri sebagai political victim, untuk memanipulasi persepsi publik. Kini, sudah zamannya semua aktor politik beradu gagasan untuk rakyat.
"Siapapun aktor politik jangan melakukan manipulasi persepsi publik. Jadi artinya bahwa memposisikan seperti itu menurut saya juga kurang baiklah. Biarlah bertarung pada level gagasan, ide yang mengedepankan kesejahteraan rakyat," tutupnya. ***