Jakarta - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak sistem upah per jam untuk karyawan yang dilontarkan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu dan tengah dikaji pemerintah dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
"Kenapa upah kerja per jam kita tolak karena tidak mau upah minimum itu dihilangkan," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam konferensi pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Sabtu, 28 Desember 2019 seperti dilansir dari Antara.
Iqbal mengatakan sistem upah per jam dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja juga tidak ada hitung-hitungan yang jelas berapa jam buruh dapat bekerja dalam seminggu seperti negara lain yang menerapkan sistem tersebut.
Sehingga ia khawatir upah minimum akan tereduksi dengan sendirinya.
"Kalau di atas upah minimum per jam itu baru negosiasi produktivitas misal di sektor otomotif berapa, sektor jurnalistik berapa, sektor pariwisata berapa, kan kita hanya bilang upah per jam dalam undang-undangnya," ujarnya.
Sejumlah buruh garmen berunjuk rasa di Kantor Pemerintahan Kabupaten Bogor, Cibinong, Bogor, Jawa Barat. (Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya)
Maka dari itu, ia lebih setuju dengan upah minimum sebagaimana yang terkandung dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) dan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003.
Sebab, upah minimum merupakan jaringan pengamanan agar orang yang bekerja. Pekerja tidak bekerja karena cuti atau sakit maka dia tetap menerima upah sesuai dengan yang diamanatkan konstitusi.
"Buruh, karyawan, pegawai atau siapapun yang menerima upah, tidak absolut miskin," tuturnya.
Ia menambahkan jika memang ingin menerapkan sistem upah per jam maka sektor yang dituju pemerintah harus jelas. Karena beberapa pekerjaan ada yang memiliki jam yang tidak terbatas seperti driver ojek online (ojol).
"Demikian para tour guide yang bekerja sampai tidak kenal waktu bagaimana hitungannya, dan sebagainya," ujarnya. []