Sleman – Suara gemeresak sesekali terdengar di antara obrolan warga Ngrakah, Desa Umbulharjo, Kecamatan cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Namun tak jarang suara gemeresak itu berubah menjadi denging yang cukup menyakitkan telinga.
Siang itu, Sabtu, 7 November 2020, cuaca cukup terik namun tidak terasa gerah. Angin berembus cukup kencang, menggoyangkan dedaunan di sekitar tempat itu. Awan-awan tipis yang berwarna putih pun turut melayang, seperti kapas-kapas besar di sekitar puncak Gunung Merapi.
Suara burung-burung liar tak jarang terdengar, seperti mencoba menyaingi denging yang muncul dari handy talkie (HT) milik Kuncung, 40 tahun, mantan warga Ngrangkah, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, yang saat ini tinggal di hunian tetap (huntap), pascaerupsi Gunung Merapi tahun 2010.
Pesawat HT tersebut tergantung pada gerobak bakso dan mie ayam milik Kuncung, yang dipasang pada boncengan sepeda motornya, bersebelahan dengan kotak tempat dia menyimpan mie. Kuncung memodifikasi gerobaknya agar bisa dipasang pada sadel sepeda motor.
Deru suara knalpot sepeda motor yang melintas tak mengganggu kegiatan beberapa orang yang sedang mengobrol di situ, meski sesekali suara teriakan menghentikan para pengendara sepeda motor yang mencoba melaju menuju Bunker Kaliadem maupun petilasan Mbah Marijan. Mereka dilarang naik karena status Gunung Merapi meningkat menjadi siaga.
Kuncung berjalan mendekati gerobak mie ayam dagangannya setelah usai menunaikan salat zuhur siang itu. Sebagian rambutnya masih basah oleh air wudhu. Suara mendenging dari HT miliknya sudah tidak lagi terdengar, berganti dengan suara gemeresak.
“Itu suara HT, Mas,” kata Kuncung menjawab pertanyaan.
10 Tahun Menjual Berteman HT
Kuncung menceritakan, dirinya merupakan salah satu warga yang terdampak erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010. Saat itu dia baru lima tahun menjual. Sejak tahun 2005 Kuncung mengais rezeki dengan menjual mie ayam di kawasan wisata itu.
Dia menjual hingga ke kawasan wisata Bunker Kaliadem. Namun, murka Gunung Merapi pada tahun 2010 meluluhlantakkan semua yang ada di kawasan itu, termasuk tempat tinggal Kuncung, yang menyebabkan dia harus meninggalkan tempat itu dan tinggal di huntap.
Bercermin dari kejadian erupsi tahun 2010, yang membuatnya cukup merasakan trauma, Kuncung mencari tahu cara mendeteksi adanya aktivitas di kawah Gunung Merapi. Sebab selama ini sebagaian warga hanya meraba-raba dari tanda-tanda alam, seperti suara gemuruh maupun adanya hewan-hewan liar yang turun dari gunung.
Akhirnya, Kuncung mendapat informasi bahwa ada frekuensi radio pada HT yang memberikan informasi tentang aktivitas Gunung Merapi. Dia pun membeli satu unit HT dan mulai belajar cara penggunaannya.
“Saya punya ide sendiri pakai HT, untuk jaga-jaga. Dulu saya tinggal di dekat Lapangan Ngrangkah. Sekarang saya di huntap. Waktu 2010 kena dampak erupsi.
Melalui HT tersebut, Kuncung bisa mengetahui kondisi Gunung Merapi, sebab ada beberapa frekuensi radio yang memang khusus menginformasikan hal itu, termasuk frekuensi yang selalu dipantaunya.
“Yang jelas fungsinya supaya kita tahu keadaan gunung, kita tahu dari suara sinyal di HT. Suaranya kan beda (saat tidak ada aktivitas dengan ada aktivitas di perut Merapi),” ucapnya menambahkan.
HT milik Kuncung, 40 tahun, selalu diletakkan di gerobak baksonya, berdampingan dengan mie. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)
Membawa HT saat berjualan bukan tanpa kendala. Selama sepuluh tahun membawa HT saat berjualan, Kuncung telah dua kali mengganti pesawat HT-nya karena HT yang lama terjatuh dan rusak.
“Kalau pulang baru dicas. Tahan dua hari. Kalau dari HT kita cuma memantau,” ujarnya lagi.
Hari itu, Sabtu, 7 November 2020, Kuncung hanya menjual sampai di pos Ngrangkah, sebab di kawasan Bunker Kaliadem dan sekitarnya sudah ditutup unutk umum. Padahal pada hari biasa, di tempat itulah dia berharap mendapatkan banyak pembeli.
“Jualannya kadang sampai kinahrejo, sampai bunker. Hari ini sampai sini aja karena sudah tahu statusnya siaga,” kata dia.
Sementara, Miskam Nur Iksan, seorang warga setempat yang juga merupakan keponakan dari mantan juru kunci Gunung Merapi, menjelaskan bahwa suara berdenging yang keluar dari HT adalah suara seismograf. Suara itu muncul jika di perut Gunung Merapi ada aktivitas.
Sekitar 11 kilometer dari tempat itu, tepatnya di sekitar Bali Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, sejumlah warga bergotong royong membangun bilik-bilik dari tripleks. Bilik itu akan digunakan sebagai barak pengungsian kelompok rentan yang akan diungsikan pada sore harinya.
150 Bilik dan Fasilitas Barak
Beberapa pria terlihat memasang tripleks sebagai sekat pada ruangan berukuran cukup besar yang terletak tepat di belakang Balai Desa Glahgaharjo, dipisahkan dengan tembok. Suara palu yang mengenai pangkal paku terdengar berkali-kali, seiring dengan suara mesin bor listrik. Puluhan bilik telah diselesaikan siang menjelang sore itu.
Sementara, beberapa puluh meter dari situ, di bagian belakang balai desa, tidak jauh dari tenda Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Telah dibangun dapur umum. Sejumlah peralatan memasak telah siap digunakan. Lima unit tabung gas lengkap dengan regulator, selang, dan kompor terlihat tertata di tempat itu.
Pembuatan puluhan bilik pada barak pengungsian di Balai Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Sabtu, 7 November 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)
Pelaksana tugas (Plt) Lurah Glagaharjo, Tri Wiyono, mengatakan, barak itu sudah hampir selesai dibuat. Rencananya pada sore hari sudah bisa digunakan untuk para warga yang diungsikan akibat kenaikan status Gunung Merapi dari level waspada menjadi siaga.
“Kita rencanakan sore ini warga yang kelompok rentan dievakuasi ke sini. Jumlahnya 128, termasuk lansia, ibu hamil, anak-anak dan difabel. Itu sesuai kapasitas di sini dan SD Wukirsari,” jelasnya.
Selain barak pengungsian di Balai Desa Glagaharjo tersebut, juga telah disiapkan barak pengungsian lain di Gayam. Menurutnya, jika berdasarkan protap, barak pengungsian memang di Gayam. Tapi sore itu baru satu dusun yang dievakuasi, sehingga barak dib alai desa itu dinilai masih mencukupi.
“Tapi karena ini yang direkomendasikan baru warga Kalitengah Lor, nanti mungkin kalau yang (kampung bagian) bawah sudah ikut, kita persiapkan di Gayam.”
Jarak barak pengungsian di Balai Desa Glagaharjo dari puncak Merapi, kata Tri, sekitar 12 hingga 13 kilometer. Sedangkan jarak dari barak pengungsian Gayam ke puncak sekitar 15 kilometer.

Mengenai dapur umum, pihak Dinas Sosial melalui Taruna Tanggap Bencana (Tagana) telah menyipakan segala sesuatunya. Dapur umum itu disiapkan untuk memenuhi kebutuhan 128 warga dan petugas di sana.
Nantinya, para pengungsi itu akan ditampung di barak hingga masa tanggap darurat usai, yakni pada tanggal 30 November 2020. Tapi, Tri mengaku belum bisa memastikan sampai kapan para pengungsi itu ada di situ.
“Kalau status siaga memang kelompok rentan sebaiknya diungsikan. Rencananya sampai tanggal 30 sebab status tanggap darurat sampai tanggal 30 (November), tapi kan nggak tahu kemungkinan perpanjang dll.”
Selain dapur umum dan bilik, pihaknya juga menyiapkan beberapa hal lain yang kemungkinan akan dibutuhkan oleh pengungsi, seperti wifi karena jaringan internet yang sulit, juga peningkatan daya listrik, dan ketersediaan air bersih, serta tetap menerapkan protokol kesehatan untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19 klaster pengungian.
“Sementara ini kita paling efektif masker. Kalau untuk rapid belum ada rencana. Tadi kita koordinasikan dengan puskesmas, tapi untuk saat ini masih fokus pada KPPS. Nanti kita screening yang masuk.” []