Tsunami Aceh 2004, Cerita Duka dari Thailand

Menjelang pukul 08.00 WIB, 15 tahun yang silam, Aceh diguncang gempa hebat berkekuatan 9,1 SR yang kemudian diikuti dengan tsunami.
Para korban selamat berjalan melewati puing-puing di pantai Patong Phuket sehari setelah tsunami pada 26 Desember 2004 silam. (Foto: BBC News|AFP)

Jakarta - Menjelang pukul 08.00 pagi waktu Indonesia barat (WIB) ,15 tahun yang silam, gempa hebat berkekuatan 9,1 Skala Richter (SR) mengguncang Provinsi Nangroe Aceh Darusallam (NAD). Tak lama kemudian, tsunami dengan gelombang di atas tujuh meter menerjang bumi Serambi Mekkah.

Tsunami juga menyebar pesisir Samudra Hindia, menewaskan hampir 230 ribu jiwa dengan sebagian besar warga Indonesia. Thailand mejadi salah satu negara di ASEAN yang juga terkena dampak musibah dasyat tsunami.

Menjelang peringatan 15 tahun tragedi tsunami Aceh tanggal 26 Desember 2019, wartawan BBC Thailand, Chaiyot Yongcharoenchai melakukan tapak tilas ke Thailand bagian selatan yang hancur akibat terjangan tsunami. Chaiyot mewancarai beberapa korban saat tragedi kemanusiaan yang memilukan itu terjadi. Bagaimana perjuangan mereka untuk menyelamatkan diri dan mencoba dengan daya upayanya membantu sesama.

Witttaya Tantawanich, Pekerja Darurat Pantai Patong Pukhet

Pagi itu Pantai Patong Pukhet sangat sepi. Saya mendapat tugas di rumah sakit Patong. Pagi itu saya merasa lapar. Kemudian saya berjalan ke pantai untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Saya duduk di dekat pantai menikmati makan pagi sembari melihat keindahan pantai.

Saat sedang menikmati makan pagi - saat itu sekitar pukul 08.00, saya merasakan gempa. Saya melihat ke sekeliling pantai, tidak ada yang panik atau merasa khawatir. Saya terus duduk di sana menunggu untuk panggilan darurat. Pada pukul 10.00, saya mendengar suara penjual makanan lokal.

Mereka menunjuk ke pantai. Mereka semua berkata,"Ayo kita tangkap ikan. Airnya terlihat sangat surut. Di tengah laut banyak ikan tergeletak di mana-mana." Saya tertawa melihat banyak ikan mati di mana-mana. Tapi tak lama kemudian saya menyadari ada sesuatu yang aneh. Tak lama berselang, air kembali pasang. 

Melihat air laut pasang, beberapa pedagang segera berlarian menjauhi pantai sebisa mungkin sembari berteriak, " Air pasang lagi! Ayo lari cepat menjauhi pantai." Saya melihat gelombang besar datang secara mendadak seperti yang biasa dilihat di film. Awalnya saya mengira, yang saya lihat hanya banjir bandang. Gelombang bergerak semakin cepat dan semakin besar, menerjang jalan pantai. Dengan sekuat tenaga saya berlari menuju truk dan melompat ke dalam. Supir pun langsung tancap gas menuju bukit, menghindari terjangan air laut. Saya melihat suasana begitu kacau, orang-orang berlarian berusaha menjauhi pantai.

Tsunami di ThailandWittaya Tantawanich, pekerja Pekerja Darurat Pantai Patong Pukhet: "Saya hanya bisa berdoa sambil menutup mata. Saya pasrah kalau harus mati."

Saya mendengar di walkie talkie bahwa gelombang kedua telah menerjang pantai. Tak butuh lama, gelombang telah meluluhlantakkan kota di Pantai Patong. Saya kemudian turun dari truk setelah gelombang kedua melemah. Pada saat itu, saya masih tidak tahu apa sebenarnya yang tengah terjadi. Saat ini yang ada dalam benak saya, bagaimana bisa membantu orang lain.

Dari walkie talkie itu saya mendapat permintaan untuk pergi ke supermarket di jalan pantai. Kata orang yang berbicara melalui walkie talkie itu, banyak orang yang terjebak di dalam supermarket. Tak lama kemudia saya tiba. Saya melihat beberapa orang di dalam supermarket sudah menjadi mayat mengambang di air. Tak kuat saya melihat pemandangan yang menggetirkan hati. Air sudah membanjiri ruang bawah tanah gedung.

Ketika saya dan beberapa relawan mencoba membantu orang-orang di dalam supermarket yang kemungkinan masih dibisa diselamatkan, saya mendengar akan ada gelombang pasang lagi. Saya tidak menemukan jalan keluar dan saya pun putus asa. Saya hanya bisa berdoa dengan menutup mata, pasrah dengan takdir Tuhan dan siap mati. Untungnya gelombang surut, saya bisa keluar supermarket. Saya telah menjadi pekerja penyelamat sepanjang hidup. Namun ini peristiwa terbesar dalam hidup saya yang tak akan bisa terlupakan seumur hidup.

Dr. Weerawit Sarideepan, dokter yang saat itu berpraktek di Rumah Sakit Vachira Phuket

Saat tragedi itu terjadi saya sedang tidak praktik di rumah sakit. Saya sedang malas dan ingin berbaring di tempat tidur. Pada pukul 08.00 pagi, saya melihat jendela kamar bergetar. Saya mengatakan kepada istri bahwa itu pasti karena getaran mobi tetangga. Kemudian saya melanjutkan tidur.

Pukup 10.00 saya terbangun. Saya bersiap mengajak keluar untuk makan pagi di luar. Namun mendadak saya mendapat panggilan telpon dari rumah sakit. Saya diminta datang karena kondisi darurat. Tak lama saya sampai di rumah sakit. Saya terkesiap melihat begitu banyak korban yang meninggal dan luka-luka. Kami memang sudah terbiasa menangan bencana dalam skala besar sekalipun. Namun untuk yang kali ini, sungguh luar biasa, dan kami tidak tahu rencana apa yang harus dilakukan.

Saya melihat ratusan orang yang terbaring lemah. Sebagian mengalami patah tulang dan luka di sekujur tubuh. Tiga teman putra saya dikabarkan hilang dan belum diketahui nasibnya. Pihak rumah sakit memberitahu saya bahwa banyak mayat yang harus dibawa ke rumah sakit. Pada pukul 19.00 malam, ratusan mayat sudah dibawa ke rumah sakit. Kami tidak mempunyai tempat untuk menampung mereka sehingga mayat-mayat itu dibungkus dengan plastik dan kain putih sebelum dibawa ke kuil.

Direktur rumah sakit meminta saya untuk membantu menanamkan microchips ke dalam tubuh mayat seperti yang diminta dokter forensik. Ketika sampai, polisi membawa saya ke Kuil Wat Yan Yao, ada ribuan mayat harus segera diidentifikasi. Bau menyengat mengganggu penciuman saya. Kuil telah dipenuhi darah dan getah bening.

Samran Chanyang, bekerja sebagai MC dan penjaga mayat di Kuil Wat Yan Yao

Pada tanggal 26 Desember 2004 pagi, saya memimpin doa yang kebetulan saat itu merupakan hari suci umat Budha. Saya menggunakan pengeras suara, agar orang-orang mendengar tuntutan doa dari saya. Tiba-tiba saya merasakan getaran gempa yang kuat, begitu pula dengan yang lain. Namun orang-orang tetap khusu berdoa. Saya pun lanjut memimpin doa.

Usai upacara, saya pulang ke rumah tepat di belakang kuil. Saya melihat banyak mobil berseliweran di jalan utama. Mereka memacu mobil dengan kencang sembari membunyikan klakson. Mereka sepertinya berusaha menghindari sesuatu. Saat itu saya belum tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dari pembicaraan penduduk desa, saya mendengar bagaimana desa-desa di sepanjang pantai telah tersapu ombak.

Tsunami di ThailandSamran Chanyang, pemimpin doa di Kuil Yan Yao. (Foto: BBC News)

Saya putar televisi. Saya melihat TV menayangkan beberapa kawasan yang sudah rusak parah. Saya sebelumnya tidak tahu kerusakan itu diakibatkan terjangan tsunami. Saya begitu begitu terkejut. Saya mengkhawatirkan anak saya yang bekerja di Khao Lak tidak jauh dari Pantai Pukhet. Putra saya seorang pelukis. Hari ini merupakan terakhir dia bekerja sebelum libur panjang. Saya mencoba menghubungi tapi tak bisa. Dari kabar ketiga teman anak saya, katanya ia menghilang. Saya terus berusaha mencarinya.

Esok harinya, mayat yang dibawa ke kuil semakin banyak. Militer mulai membawa kantung untuk menyimpan mayat. Pada pertengahan hari kedua, saya melihat gunungan mayat yang menumpuk. Saya tak kuasa menahan sedih, apalagi saya memikirkan putra tertua yang hingga kini belum diketahui nasibnya. Saya mengajak putra dan teman saya untuk mencari anak laki-laki tertua. Butuh setengah hari untuk menemukannya. Saya pun harus menerima kenyataan pahit, anak tertua saya sudah menjadi mayat, terjebak di sebuah gedung.

Sathaporn Sawangpuk, kapten kapal Mahidol

Kami sedang dalam perjalanan kembali pulang ke Thailand setelah melakukan penelitian laut selama sebulan di Samudra Hindia. Kami berhenti di Pulau Koh Racha Yai di Phuket untuk memberikan pelajaran kepada peserta magang. Laut terlihat cukup tenang, langit begitu jernih dan biru. Saya memberi tahu tim: "Hari yang sempurna di laut."

Setelah makan pagi, kami menonton pelaut magang menyelam dengan ditemani instruktur. Tiba-tiba saya merasakan kapal terangkat dan berayun ke kiri dan ke kanan. Kami tidak tahu apa yang tengah terjadi. Tapi insting saya merasakan ada sesuatu. Kemudian saya

kembali menjalankan kapal menuju tengah laut.

Tsunami di ThailandKapal Kapten Sathaporn Sawangpuk. (Foto: AFP|BBC News)

Ketika saya melihat ke arah pantai, ombak besar menghantam, menyapu bersih yang ada di pinggir pantai. Gelombang menjauh pantai. Tapi itu tak lama, kemudian datang gelombang lagi yang lebih besar, menyeret bungalo dan restoran di sekitar pantai ke laut. 

Tragedi tsunami di Aceh telah menimbulkan duka yang mendalam bagi dunia. Masih banyak korban di Thailand, namun terlalu panjang untuk diceritakan di sini. []

Baca Juga:

Berita terkait
Masjid di Aceh Tetap Kokoh Saat Tsunami Menerjang
Masjid Baiturrahim Ulee Lheue salah satu bukti atas dasyatnya bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 silam.
Pesan Ayah Sebelum Ditelan Tsunami Aceh
Kisah pilu Tsunami Aceh terus menghiasi perjalanan karib kerabatnya yang selamat dari terjangan bencana dahsyat yang terjadi 26 Desember 2004.
Kapal PLTD Apung, Bukti Sejarah Tsunami Aceh
Aceh menangis, dunia pun ikut berduka. Jenazah tergeletak di jalanan dan tertimpa di bawah puing-puing bangunan.
0
PKS Akan Ajukan Uji Materi PT 20%, Ridwan Darmawan: Pasti Ditolak MK
Praktisi Hukum Ridwan Darmawan mengatakan bahwa haqqul yaqiin gugatan tersebut akan di tolak oleh Mahkamah Konstitusi.