Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja bukan satu-satunya solusi dongkrak pertumbuhan ekonomi tanah air.
Menurutnya, UU Cipta Kerja yang kini menjadi polemik itu justru memiliki banyak pasal yang kontradiktif terhadap penciptaan lapangan pekerjaan.
"Misalnya dalam klaster pangan, posisi impor justru disamakan dengan produksi dan cadangan pangan nasional. ini artinya nasib pekerja informal di sektor pertanian akan terancam," kata Bhima saat dihubungi Tagar, Selasa, 27 Oktober 2020.
Investor di banyak negara juga melakukan protes terhadap omnibus law karena dianggap menurunkan hak pekerja dan perlindungan lingkungan hidup.
Baca juga: UU Cipta Kerja Soal Bank Tanah, Indef: Perlu Dikaji Lagi
Kemudian, kata Bhima, di pasal 42 revisi UU Ketenagakerjaan tahun 2003 disebutkan bahwa startup tidak perlu rencana penggunaan tenaga kerja asing (TKA). Menurut dia, padahal ekonomi digital yang sedang booming dan menciptakan banyak tenaga kerja.
"Untuk apa permudah masuk TKA? Jadi kontradiktif," ucapnya.
Bhima Yudhistira dalam sebuah diskusi. (Foto: Tagar/YouTube/Bhima Yudhistra).
Bhima menjelaskan, adanya protes terhadap omnibus law tidak terjadi di Indonesia saja. Sebab, investor di banyak negara juga melakukan hal yang sama.
"Investor di banyak negara juga melakukan protes terhadap omnibus law karena dianggap menurunkan hak pekerja dan perlindungan lingkungan hidup," ujar Bhima.
Baca juga: Tanggapi Prabowo Soal Cipta Kerja, Indef: Tangani Pandemi Dulu
Di sisi lain, Bhima mengatakan masih ada beberapa catatan positif mengenai pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin. Menurut dia, sektor jasa informasi dan telekomunikasi masih terbilang positif untuk pertumbuhan ekonomi.
"Positifnya masih ada sektor yang pertumbuhannya cerah yakni sektor jasa informasi dan telekomunikasi menunjukkan adanya digital bonanza atau percepatan transformasi digital," tuturnya.
Namun, Bhima memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan III dan IV 2020 belum bisa menyentuh indikator positif. Ini melihat dari kuartal II 2020 yang menjadi terendah sejak 1999.
"Triwulan ke III dan IV diperkirakan ekonomi masih bergerak negatif," katanya. []