Jakarta - Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin menilai, seruan untuk mengajukan judicial review UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK) salah sasaran Menurutnya, yang dituntut buruh, mahasiswa, dan elemen masyakat lain itu legislative review atau executive review, bukan judicial review.
Dalam membentuk undang-undang DPR dan Presiden harus tetap memperhatikan ketentuan UUD 1945 dan aspirasi rakyat.
” Seruan Presiden Joko Widodo agar pihak yang tidak puas terhadap Undang-Undang Cipta Kerja mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi bak lempar batu, sembunyi tangan," ucapnya dalam keterangan di Jakarta, Sabtu, 10 Oktober 2020.
Apa yang dituntut oleh para demonstran itu dalam teori hukum tata negara disebut dengan legislative review atau pengujian produk legislasi oleh lembaga legislatif. Dalam hal ini DPR selaku legislator dan Presiden sebagai co-legislator.

Menurutnya, tidak sepantasnya pemerintah lempar tangan soal omnibus law UU Cipta Kerja kepada lembaga negara yang lain. Dengan cara seperti itu pemerintah seolah menjadikan MK sebagai keranjang sampah. Konstitusionalitas undang-undang dianggap hanya urusan MK, sementara DPR dan pemerintah bisa bebas menyimpangi konstitusi.
” Padahal, sistem hukum kita tidak mengatur demikian. Dalam membentuk undang-undang DPR dan Presiden harus tetap memperhatikan ketentuan UUD 1945 dan aspirasi rakyat. Nah, apa yang dituntut oleh buruh, mahasiswa, dan elemen masyakat lain pada aksi demonstrasi besar-besaran kemarin itu jelas: mereka meminta DPR dan Presiden sendiri yang membatalkan UU Ciptaker, bukan MK,” ucap Said seperti dikutip dari portal kspi.or.id.
Said menambahkan, jangan menggurui mereka untuk melakukan pengujian undang-undang ke MK. Para pendemo itu bukan orang bodoh yang tidak mengerti prosedur pengujian undang-undang ke MK.
Mereka turun ke jalan dalam rangka menuntut DPR dan Presiden Jokowi agar membatalkan sendiri UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan rakyat. "Soal MK itu urusan yang lain lagi. Tidak ada korelasinya dengan aksi mogok nasional para buruh dan unjuk rasa masyarakat," ucap Said.
Menurut Said, bahwa ada problem waktu bagi DPR dan Presiden untuk membentuk undang-undang baru guna membatalkan UU Cipta Kerja, itu perkara lain. Selain itu, ada pula tuntutan dari para pengunjuk rasa agar Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) supaya UU Cipta Kerja bisa dibatalkan dalam waktu yang lebih cepat.
"Aspirasi rakyat itu disebut dengan proses executive review atau peninjauan kembali perangkat hukum oleh badan pemerintah. Presiden punya kewenangan itu," ucap Said. []
- Baca Juga: Jokowi Ungkap Alasan Harus Ada Omnibus Law UU Cipta Kerja
- Bamsoet Ngompol Bareng Menteri Airlangga Bahas UU Cipta Kerja