Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai Omnibus Law UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan standar negara maju dalam berinvestasi.
"Investor kakap juga mengirimkan surat keberatan atas pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja karena berdampak negatif bagi lingkungan hidup. Padahal standar negara maju dalam berinvestasi sangat ketat terkait lingkungan hidup," kata Bhima saat dihubungi Tagar, Selasa, 6 Oktober 2020.
Investor di negara maju sangat menjunjung fair labour practice dan decent work.
Menurut Bhima, jika prinsip dasar tersebut diturunkan standarnya dalam UU Cipta Kerja maka sulit untuk mengharapkan adanya investasi besar dari negara maju. "Sekali lagi, keluarnya dana asing dan nota protes dari investor sebagai tanda adanya ketidakpercayaan bahwa omnibus law adalah solusi menarik investasi dan pemulihan ekonomi di tengah resesi," ucapnya.

Bahkan, menurutnya, dengan dicabutnya hak-hak pekerja dalam UU Cipta Kerja, tidak menutup kemungkinan persepsi investor khususnya negara maju menjadi negatif terhadap Indonesia. "Investor di negara maju sangat menjunjung fair labour practice dan decent work dimana hak-hak buruh sangat dihargai bukan sebaliknya menurunkan hak buruh yang berarti bertentangan dengan prinsip negara maju," ujar Bhima.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Pengesahan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan pertama 2020-2021 yang diadakan lebih cepat dari rencana pada 8 Oktober 2020 menjadi 5 Oktober 2020.
Pengesahan UU Cipta Kerja membuat DPR dan pemerintah mendapat kritikan tajam dari masyarakat. Pasalnya, dalam UU yang dianggap kontroversial ini, ada beberapa pasal yang dinilai menghilangkan hak-hak dan merugikan para buruh atau pekerja. []