Bekasi - Pengamat intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta meminta aparat keamanan Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian RI (Polri), dan Badan Intelijen Negara (BIN) ekstra waspada dan menutup celah terhadap skenario dari aktor kelompok-kelompok radikal yang berpotensi membuat situasi nasional tidak kondusif di tengah pandemi Covid-19.
"Penanganan pandemi Covid-19 yang melibatkan TNI, Polri, dan BIN menjadi peluang bagi aktor-aktor yang ingin membuat gangguan, terutama bagi pemerintah. Aktor tersebut ingin memanfaatkan kelengahan aparat keamanan," kata Stanislaus Riyanta dalam diskusi virtual bertajuk "New Normal: Indonesia Optimis dan Indonesia Terserah", Kamis, 4 Juni 2020.
Menurut dia, kelompok-kelompok tersebut terus mencari celah di tengah kesibukan pemerintah memerangi pandemi Covid-19. Terlebih dengan adanya tekanan ekonomi, maka pemberlakukan pembatasan sosial yang berdampak pada terbatasnya kesempatan kerja menjadi isu yang didorong oleh aktor-aktor tertentu dengan tujuan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Ancaman dari kelompok pengusung ideologi khilafah juga terus terjadi.
Ia menyebutkan gangguan keamanan yang sudah terjadi secara nyata adalah dari kelompok radikal yang melakukan aksi teror. Seperti aksi teror terhadap petugas kepolisian di Poso oleh kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT), 15 April lalu.
Baca juga: Lagi Wabah Corona, Teroris Poso Sebar Agenda Khilafah
Baru-baru saja, kata dia, terjadi serangan lone wolf di Polsek Daha Selatan, Kalimantan Selatan, 1 Juni 2020, yang menunjukkan bahwa kelompok teroris memanfaatkan celah kerawanan pada saat pandemi Covid-19 untuk menyerang aparat kepolisian.
"Ancaman dari kelompok pengusung ideologi khilafah juga terus terjadi. Penyebaran pamflet ideologi khilafah di Kupang menjadi salah satu bukti bahwa propaganda khilafah terus dilakukan," katanya.
Kemudian, Stanislaus juga menyinggung oknum eks anggota TNI Ruslan Buton yang melakukan propaganda agar Presiden Joko Widodo mundur. Dia menilai hal tersebut sebagai salah satu gerakan memanfaatkan situasi pandemi Covid-19.

Propaganda yang dilakukan Ruslan Buton, disebutnya dapat diduga masuk dalam kategori informasi yang menimbulkan kebencian dan kegaduhan.
"Begitu juga dengan adanya narasi tentang pemakzulan Jokowi yang muncul dari berbagai titik. Selain lewat mimbar akademis, juga sangat marak di media massa," ujarnya.
Baca juga: Pasutri di Kupang Tepergok Sebar Ideologi Khilafah
Meskipun menjadi hak bagi akademisi untuk berpikir kritis terkait dengan isu pemakzulan Jokowi, Stanislaus menilai menjadi tidak etis dan tidak mempunyai bela rasa jika pada saat pandemi Covid-19 akademisi justru memprioritaskan diskusi terkait dengan politik pemakzulan presiden, daripada berkontribusi secara akademis untuk melawan virus corona.
"Meskipun demikian, isu tentang adanya teror terhadap akademisi yang berniat melakukan diskusi tetap harus diusut tuntas. Dapat diyakini bahwa gaya-gaya teror tersebut bukan inisiatif dari pemerintah," ucapnya.
Oleh sebab itu ia meminta aparat penegak hukum bersikap tegas dan korban teror harus kooperatif bekerja sama dengan penegak hukum untuk menyampaikan bukti supaya kasus tersebut dapat diusut tuntas.
"Siapa pelaku teror dan apa motifnya harus dibuka agar tidak menjadi fitnah, dan tidak menjadi sandungan bagi negara yang menjunjung tinggi demokrasi," tuturnya.
Tingkat kriminalitas pada masa pandemi Covid-19, kata dia, juga mengalami kenaikan, merujuk pada data Polri yang menyatakan tingkat kriminalitas meningkat sebesar 19,72 persen selama pandemi virus corona.
Berbagai ancaman tersebut, menurut Stanislaus, harus dicegah dan intelijen tidak boleh lengah karena aktor-aktor disebutnya akan memanfaatkan berbagai celah kerawanan yang muncul karena pandemi Covid-19.
"Ruang informasi juga harus diisi oleh pemerintah. Narasi positif harus dikembangkan untuk membangun kepercayaan masyarakat, rasa persatuan, gotong royong, dan hal-hal yang produktif lainnya sehingga pandemi Covid-19 di Indonesia segera berakhir," kata Stanislaus. []