Beberapa waktu ini viral beberapa ustaz mualaf yang memberikan ceramah dan diunggah ke media sosial. Mereka disebut mualaf, karena pindah agama dari agama A ke agama B. Sebagai orang yang mengenal agama baru, seharusnya si mualaf ini mulai belajar menggali ilmu supaya semakin cerdas dan berwawasan.
Lucunya, fenomena belakangan ini, si mualaf yang seharusnya belajar malah didaulat untuk mengajar. Mereka kemudian disebut "ustaz" yang kalau diartikan bermakna pendidik atau pengajar.
Eh, si mualafnya mau lagi. Bukannya merasa rendah diri dan bilang, "Maaf saya harus banyak belajar." Mereka malah dengan tinggi hati mengambil podium dan kursi lalu mengajarkan pelajaran di mana mereka seharusnya banyak belajar.
Apa jualan mereka? Ya, pasti menjelek-jelekkan agama sebelumnya yang mereka anut. Persis seperti sales Coca Cola yang pindah ke Pepsi dan cerita buruknya Coca Cola dari A sampai Z. Mereka harus jualan kejelekan-kejelekan itu, karena memang tidak ada ilmu yang bisa mereka ajarkan.
Akhirnya mereka menggali-gali "Apa yang harus gua tonjolkan? Gua cerdas kagak, bego iya. Ah, enaknya jualan keburukan. Pasti ada yang beli. Karena bad news is a good news."
Dan sebagai aksesori tambahan, si mualaf-mualaf itu kemudian mengarang cerita dan menambah-nambahkan gelar. Ada yang bilang pernah sekolah sampai S3 di Vatikan lah, padahal mana ada sekolah di Vatikan? Ada yang bilang dulu pernah sekolah teologi sampai selesai, eh enggak lama ada yang bongkar kalau dia sekolah saja tidak usai.
Kenapa orang-orang ini eksis? Karena Indonesia sangat liberal dalam hal pengajar agama, khususnya Islam. Tidak ada lembaga khusus untuk sertifikasi pengajar, semua bebas untuk mengajar dan menyampaikan pemikiran agama.
Gelar-gelar dan cerita bombastis itu harus ada, namanya sales. Kalau enggak ada gituan, siapa yang mau mengundang? Dan sesudah gelar ditambahkan, lalu ganti pakaian dengan nuansa kearab-araban. Harus ada gitunya, soalnya di negara ber-flower ini Arab identik dengan Islam. Jadi harus pakai gamis putih, sorban, jenggot pelihara sedikit, belajar cengkok Arab, dan hafalkan satu dua ayat tentang sabar dan ikhlas. Jadi deh "ustaz". Mirip tahu bulat yang digoreng dadakan.
Dan seperti hukum pasar, ada saja pembelinya. Pembelinya, ya mereka yang juga baru belajar agama tapi merasa sudah paling beriman. Lucu memang, yang mengajar bodoh, yang mendengarkan juga bodoh. Akhirnya yang diceritakan adalah kebodohan-kebodohan. Enggak ada ilmu yang bertambah. Mereka saling berkhayal bahwa dirinya adalah yang paling benar dan semua di sekitarnya salah.
Kalau kata generasi milenial, pembicara dan jemaahnya haluuu semua.
Aneh memang. Bagaimana seorang karateka sabuk putih bisa dapat ilmu dari seorang karateka sabuk putih juga? Wong, mereka sama-sama sedang belajar. Dan fenomena ini sudah ada sejak lama. Ada yang namanya Yahya Waloni, ada Felix Siauw, ada Irene Handono yang mengaku dulunya biarawati dan sekarang muncul yang namanya bangun Samudra.
Selain nama-nama itu, di akar rumput juga ada beberapa, tapi belum dikenal. Mereka sedang meniti karier dengan menambah jam terbang supaya harganya semakin mahal.
Kenapa orang-orang ini eksis? Karena Indonesia sangat liberal dalam hal pengajar agama, khususnya Islam. Tidak ada lembaga khusus untuk sertifikasi pengajar, semua bebas untuk mengajar dan menyampaikan pemikiran agama.
Beda dengan banyak negara muslim lain, yang bahkan untuk ceramah di hari Jumat pun sudah diarahkan supaya umat tidak kebingungan dalam perbedaan tafsir. Dan ini adalah bom waktu ke depan. Para "ustaz" mualaf dan "ustaz-ustaz" baru belajar itu sedang menanamkan kebodohan dalam benak jemaahnya.
Mereka suka mengambil ayat-ayat perang dalam kitab suci, tanpa pernah belajar kapan ayat itu dikeluarkan dan pada waktu apa. Pokoknya hajar, biar dianggap pintar.
Ketika seorang muslim semakin lama semakin bodoh, akhirnya mereka tanpa sadar menjadi intoleran dan radikal. Dan jika komunitas beginian semakin banyak, mereka akan memaksakan kebodohannya kepada orang sekitar dengan tekanan massa dan kekuatan minus akal.
Indonesia, kalau tidak segera membenahi dirinya mulai sekarang, kelak akan menuai apa yang mereka tanam.
Saya jadi teringat perkataan Rasulullah SAW, di masa-masa akhir beliau, "Umatku akan banyak di akhir zaman, tapi mereka seperti buih di lautan."
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Tulisan ini sebelumnya telah di-publish dalam bentuk video di Cokro TV dengan judul Denny Siregar: Mualaf Itu Harusnya Belajar, Bukannya Ngajar. Paham Ora, Son?
Baca opini lain: