Pasar Tradisional Bantaeng di Tengah Wabah Corona

Saldi dan Rusdi, penjual ikan di pasar sentral Bantaeng, Sulawesi Selatan. Di bawah ancaman virus corona, mereka harus keluar rumah, mencari hidup.
Pasar sentral Bantaeng, Sulawesi Selatan, sepi pengunjung, Senin, 23 Maret 2020. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Bantaeng - Saldi dan Rusdi, sama-sama penjual ikan di pasar sentral Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Mereka dalam balutan kaos biru dan abu-abu, sore itu dijumpai Tagar, Senin, 23 Maret 2020.

Tampak telaten tangan Rusdi, pemuda berkaos abu-abu, membelah perut ikan mujair atau yang dalam bahasa setempat disebut ikan jabiri. Sepertinya ia sudah hafal betul bagian sirip mana yang menusuk jika disentuh, bagian perut mana yang harus dibuang dan bagian tubuh ikan mana yang sebaiknya dihilangkan. Tak ragu lagi, karena hal itu adalah aktivitasnya sehari-hari.

Sementara Saldi, asyik melayani pembeli. Bernegosiasi, mengumpan harga pada pembeli sampai pada angka yang disepakati. Tak butuh waktu lama, sekali dua kali tawar ia langsung membungkus ikan yang jadi pilihan pembeli.

Suasana pasar sentral yang terletak di Jalan T.A Gani Kelurahan Bonto Sunggu, Kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng, tampak begitu sepi. Bukan karena sore hari. Tak seperti hari-hari biasanya, kata Saldi, empat hari terakhir pasar memang tak pernah ramai.

"Memang pasar sekarang sunyi sekali, sejak orang dilarang keluar rumah," tutur Rusdi sambil membersihkan sisa perut ikan.

Bukan hanya pembeli yang tak kunjung kemari, beberapa rekan sesama penjual ikan, ada juga yang tak menampakkan batang hidung. Sebagian besar sentra penjualan ikan kosong karena tak ada penghuni yang menjajakan ikan sebagaimana biasanya.

Isu corona Covid-19 yang merajai pemberitaan benar-benar mencekam. Banyak yang mengikuti imbauan pemerintah untuk mengisolasi diri dari keramaian, atau menerapkan sistem social distancing, menjaga jarak sosial, menghindari kerumunan, berdiam diri di rumah.

Memang pasar sekarang sunyi sekali, sejak orang dilarang keluar rumah.

Pasar BantaengSaldi dan Rusdi, penjual ikan di pasar sentral Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, Senin, 23 Maret 2020. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Namun, banyak juga yang terpaksa memberanikan diri keluar rumah karena desakan ekonomi keluarga. Mau bagaimana lagi, keluar rumah mati, tak keluar rumah pun mati. Tak ada pilihan lain yang lebih baik selain menantang maut dari virus corona.

Bagi Saldi dan Rusdi, ketakutan itu tetap ada mereka rasakan. Sama halnya dengan masyarakat pada umumnya. Tapi tak ada yang mampu memberikan mereka solusi bagaimana untuk tetap hidup jika hanya beraktivitas di rumah. Sementara selama ini cara mereka mencari nafkah adalah dengan berjualan, dan harus keluar dari rumah untuk bisa mendapatkan uang. Agar keluarga di rumah mampu mengisi perut dengan makanan, bukan dengan ketakukan.

Saldi kembali melakukan negosiasi dengan seorang pelanggan yang mendekat ke lapaknya. Seseorang yang menawar seikat ikan mujair seharga Rp 25 ribu, berisi 15 ekor ikan mujair seukuran telapak tangan anak kecil.

Dari angka tersebut ditawar dan sepakat pada nilai Rp 20 ribu per ikat.

"Biar saja untung sedikit, tidak perlu nego lama-lama daripada ikan tinggal karena tidak laku, karena kondisi sekarang tidak seperti dulu," kata Saldi.

Rusdi dan Saldi selama ini menjajakan berbagai jenis ikan. Mulai dari ikan bandeng atau yang dalam bahasa setempat disebut ikan bolu, berbagai jenis ikan laut sampai ikan air tawar di antaranya mujair dan gabus.

Biasanya dalam sehari mereka sanggup menjual banyak box ikan. Tapi kali ini berbeda, sehari cukup satu sampai dua box saja.

"Itupun syukur kalau laku semua, kadang tidak habis, karena jam setengah lima sore biasanya sudah kosong, pasar tidak kayak dulu, jam 6 sore sampai habis magrib masih ada yang jual," tutur Rusdi.

Ya, pandemi virus Covid-19 tak hanya memberikan efek panik dan takut kepada orang-orang. Yang terburuk adalah berimbas pada sektor perekonomian. Pasar yang menjadi tempat perputaran uang secara mendadak disunyikan dari keramaian.

Pasar BantaengSentra penjualan ikan di Bantaeng, Sulawesi Selatan, sepi pengunjung, Senin, 23 Maret 2020. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Para pedagang mengeluh, tak ada pembeli bahkan tak jarang pedagang hanya saling pandang satu sama lain karena tak ada pengunjung. Lalu untuk siapa mereka datang jika orang-orang lebih memilih mendekam dalam ketakutan.

Pedagang-pedagang kecil dengan omzet yang tak seberapa menantang maut secara sia-sia. Pulang ke rumah membawa letih dan lelah saja. Syukur-syukur tak ikut membawa virus corona pulang ke rumah.

"Kita ini cuma bisa pasrah, kadang bawa rugi saja karena jual buahnya orang lain yang untungnya tidak seberapa," ucap Daeng Ngani, penjual buah naga yang sore itu sedang mengemas buah untuk segera kembali ke desa.

Kata Daeng Ngani, yang seorang nenek dengan satu orang cucu yang hidup bersamanya, selama isu corona diberitakan, ia sama sekali tidak berniat menetap di rumah. Apalagi alasannya jika bukan soal ekonomi. Tak ada orang lain yang bisa bertanggung jawab atas dirinya dan cucunya.

Daeng Ngani hanya pedagang buah naga. Buah yang bukan miliknya. Buah yang diamanahkan kepadanya untuk dijual dengan nominal yang sudah ditentukan sang empunya sehingga ia tak bisa lagi bermain harga. Untung tipis tak mengapa, asal bisa membuat ia dan cucunya mengunyah.

"Kalau saya juga ikut tinggal di rumah, pasti buah-buahan ini membusuk lalu nanti apa mau saya setor sama yang punya buah, kalau tidak dikasih lagi saya menjual juga bagaimana," kata Daeng Ngani yang kira-kira berusia 50 tahun itu.

Soal virus corona yang menjadi momok mengerikan sama sekali tak menjadi pikiran baginya.

"Yang penting kan rajin cuci tangan, itu saja saya lakukan," katanya dengan sedikit terkekeh

Tapi benar, karena corona ia merana. Tak ada pengunjung pasar, tak ada pembeli yang melirik buah naga dagangannya, tak ada uang untuk disetor kepada pemilik buah, tak ada uang untuk cucunya jajan di rumah.

Buah naga yang dijualnya hanya seharga Rp 5.000 per buah. Cukup murah untuk buah yang tampak masih segar dan cukup besar.

"Kadang sampai jual rugi saja, Rp 10 ribu rupiah dapat tiga buah yang penting bisa sewa mobil pulang ke rumah," katanya masih dengan sedikit senyum tersungging di wajah yang penuh kerut perjuangan hidup. []

Baca cerita lain:

Berita terkait
Kisah Relawan Peramu Cairan Pencegah Corona di Jakarta
Siang itu di bawah lampu neon yang bergantung di langit-langit laboratorium Salemba, 12 relawan berjas putih meramu cairan pencegah corona.
Mungkin Takdir Kalau Kena Corona
Siang itu di Pasar Beringharjo Yogyakarta, jumlah pedagang lebih banyak dari pengunjung. Hari yang berat untuk mencari uang di tengah wabah corona.
Menunggu Badai Corona Segera Berlalu
Pada masa social distancing, anak belajar di rumah, pegawai kerja di rumah, kegiatan ekonomi menurun. Semua berharap badai corona segera berlalu.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.