Air Mata di Balik Yopia, Kuliner Tradisional Rembang

Yopia sudah menjadi bagian dari kehidupan keluarga Waras. Air matanya berderai ketika ingat zaman susah jualan kuliner khas Rembang itu.
Kue yopia, panganan tradisional khas Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Rembang - Kue yopia bukan sekadar panganan. Kuliner tradisional Rembang warisan leluhur itu jadi bagian tak terpisahkan dari pahit manisnya kehidupan si pembuat. Jatuh bangun usaha berujung kesedihan berbulir air mata mengiringi sejarah panjang eksisnya yopia di tengah era moderenisasi saat ini.   

Tiongkok kecil heritage dan batik tulis, dua hal yang selama ini paling dikenal masyarakat luas dari Lasem, salah satu kecamatan di Kabupaten Rembang. Ternyata, di daerah Lasem, persisnya di Desa Karangturi, ada kuliner khas yang tak dimiliki daerah lain. Karya autentik ratusan tahun silam itu dinamai yopia, sebuah produk makanan jenis kue kering yang berkulit tipis dengan isian gula jawa. 

Bisa dibilang yopia merupakan penggabungan akulturasi kuliner Tiongkok dengan Jawa, meski perlu ada kajian lebih dalam untuk mengulik asal usul kue tersebut. Namun jika melihat bahan pembuatannya, menguatkan adanya percampuran budaya itu. Kulit yopia dibuat menggunakan bahan terigu yang jadi ciri khas makanan China. Dan isiannya menggunakan gula aren yang identik dengan kuliner Jawa. 

Sekilas, yopia mirip nopia asal Banyumas atau bakpia dari Yogyakarta, meski tidak bisa dibilang serupa karena kue ini lebih berongga dan besar. Merasa penasaran Tagar mendatangi lokasi pembuatan kue legendaris di Desa Karangturi, sekitar pertengahan Januari lalu. Tidak sulit mencari keluarga pembuat yopia itu. Saat bertanya kepada warga setempat, mereka langsung menunjukan rumah produksi tersebut. 

Mbah (kakek) sama orang tua saya dulu tidak pernah bercerita sejarah kue ini bagaimana. Cuma bilang usaha ini buat makan sehari-hari, tidak perlu cari kerjaan lain, begitu saja pesannya.

Tiba tempat yang dituju, nampak sebuah rumah dikelilingi pagar yang terbuat dari seng. Bangunan rumah tua yang memiliki arsitektur cina dengan dinding kayu-kayu tuanya dibalik dinding seng menyambut langkah Tagar

Seorang wanita tua dengan potongan rambut pendek mengenakan daster biru keluar rumah. Dia bernama Waras, si empu rumah yang dijadikan basis produksi usaha yopia. Wanita usia 74 tahun itu merupakan generasi ketiga pembuat yopia. 

Di bagian belakang rumah terdengar sejumlah aktivitas orang. "Lagi pada buat kue seperti biasa," tuturnya diiringi senyum mengembang. Lantas Tagar dipersilakan duduk dan dimulailah kisah Waras mempertahankan kue yopia dari masa ke masa hingga proses pembuatannya. 

Kue yopia produksinya merupakan warisan turun menurun dari sang kakek buyutnya bernama Tan Tjiem Liang. Ratusan tahun lalu usaha pembuatan kue ini awalnya hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.

"Mbah (kakek) sama orang tua saya dulu tidak pernah bercerita sejarah kue ini bagaimana. Cuma bilang usaha ini buat makan sehari-hari, tidak perlu cari kerjaan lain, begitu saja pesannya," tuturnya. 

Pembuatan Yopia

yopia2Pekerja tengah mengepak kue yopia, panganan khas Rembang, dalam kemasan plastik dan kardus. (Foto: Tagar/Rendy Teguh Wibowo)

Di zaman dulu, pembuatan kue yopia menggunakan alat sederhana, terbilang masih sangat tradisional. Sebut saja, kata Waras, untuk memanggang, kakek dan orang tuanya pakai arang. Kemudian untuk cap produk, terbuat dari kayu yang diukir berbentuk kupu-kupu. Sampai alat penggilingan adonan, terbuat dari balok kayu berbentuk bulat dengan pegangan di sisi ujung kanan dan kirinya.

"Zaman dulu belum seperti ini menggunakan oven, dulu masih pakai arang untuk memanggang yopia," ucap dia.  

Di dapur kecil dengan dinding kayu dan beratapkan genting yang dilapisi plastik itu, ratusan kue yopia dibentuk setiap dua hari sekali. Dimulai dengan pembuatan adonan mulai sekitar pukul 02.00 WIB, bebarengan dengan pembuatan isiannya, yaitu gula aren yang dicampur dengan air. Proses ini bisa mamakan waktu hampir dua jam dan harus diaduk terus. 

Tidak ada takaran tertentu di pencampuran bahan rasanya, ya cuma dikira-kira saja karena dulu mbah buyut mengajarinya begitu.

Setelah semua bahan tercampur, adonan dibentuk memanjang dengan diameter kurang lebih dua sentimeter, dipotong kecil-kecil menyerupai dadu. Potongan adonan kecil itu selanjutnya digilas pakai balok kayu hingga berbentuk bulat pipih. Setelah itu diberi isian gula aren, ditutup dengan adonan tepung dan digiling kembali.

"Tidak ada takaran tertentu di pencampuran bahan rasanya, ya cuma dikira-kira saja karena dulu mbah buyut mengajarinya begitu. Sampai sekarang yang dipakai ya cuma model itu, jadi kalau tidak keluarga tidak bisa buat," sebut dia.

Usai semua adonan yopia dibentuk bundar, proses berikutnya adalah pemasakan. Yopia mentah dimatangkan dalam oven dengan suhu 200 derajat celsius selama tiga menit. Jika terlalu lama dioven, kulit yopia akan keras, permukaannya kering dan gosong. 

"Yang cukup sulit itu saat proses pengisian gula aren. Kalau adonan tepungnya tidak menutup rapat isian atau masih ada lubang pasti tidak jadi, kue tidak mau mengembang seperti kempes," sebutnya.

Kue yang gagal mengembang tidak serta merta dibuang. Biasanya Waras makan sendiri bersama keluarga atau disajikan ke pengunjung yang ingin mencicipi yopia. Dan ternyata banyak pengunjung yang malam suka dengan yopia yang gagal mengembang. Mereka ada yang memesan dengan jumlah yang banyak.

"Tapi kadang ada pembeli yang sukanya yang kempes, dia pengin pesen, tapi kan itu tidak bisa dibuat karena juga tidak disengaja," ujar dia.

Air Mata Yopia

yopia3Waras, 74 tahun, pembuat kue yopia di Desa Karangturi, Kecamatan Lasem, Rembang. Butuh perjuangan dan air mata untuk mempertahankan usaha warisan leluhur yang telah berjalan ratusan tahun itu. (Foto: Tagar/Rendy Teguh Wibowo)

Sehari-hari, wanita bernama Tionghoa, Siek Tian Nio ini dibantu anak bungsunya,Tony Haryanto dan satu karyawan dari warga setempat untuk pengemasan. Khusus pengolahan memang ditangani sendiri karena terkait dengan resep rahasia yang hanya boleh diketahui anak calon penerus usaha. 

Bagi kalangan Tionghoa, kue yopia bukan panganan asing. Sebab dari bentuknya, kue ini mirip dengan makanan khas tionghoa lain semacam bakpau dan bakpia. Namun jika mengandalkan pembeli dari kalangan sendiri maka bisa dipastikan bakal tidak banyak yang bisa dijual.  

Akhirnya yopia mulai dikenalkan ke masyarakat sekitar. Tapi tinggal di wilayah yang tidak memahami kue tersebut membuat keluarga Waras sempat mengalami kendala di pemasarannya. Zaman dulu, kakek dan orang tuanya menjual yopia dengan model keliling, jalan kaki dari kampung ke kampung, masuk rumah satu berganti rumah lain, menggunakan toples.

"Dulu banyak yang bilang kue ini haram. Tidak, ini kue halal, semua orang bisa makan. Bahannya saja cuma tepung sama gula jawa tidak ada campuran bahan lainnya. Dan tidak ada kandungan berbahayanya," ucap dia. 

Masa-masa berat menekuni usaha warisan leluhur mengalami puncaknya takala sang suami meninggal dunia saat berusia 50 tahun. Waras harus menghidupi empat anaknya seorang diri. Padahal saat itu masih duduk di bangku sekolah semua. Beralih ke usaha lain, ia terbentur keahlian dan modal. Sementara tidak ada peninggalan lain selain warisan usaha dan kemampuan membuat yopia.  

Suka tidak suka, kuat tidak kuat, Waras tetap bergelut dengan adonan yopia tiap hari demi masa depan anak-anaknya. Ia hanya bermodal keyakinan, sekecil apapun usaha itu jika ditekuni akan memberi kehidupan. Berjualan dari rumah ke rumah, dari desa ke desa, lintas kecamatan sampai antarkota dilakoni.

Tak peduli kaki sudah pegal karena terus berjalan dan naik turun bus, ia tetap berusaha memperluas pasar yopia hingga luar Rembang. Selain karena memang tuntutan hidup, ada juga terbersit keinginan untuk mengenalkan panganan khas yang hanya bisa didapat di Rembang ini ke daerah lain.  

"Dulu sangat susah, harus keliling bawa kardus menawarkan. Sampai naik bus jualan ke Surabaya juga," ujarnya. 

Sampai di sini, ucapan Waras terdengar bergetar. Bibirnya seperti kelu ketika hendak bercerita lebih lanjut. Tak terasa air mata menetes, mengalir membelai keriput kulit wajahnya. Sejenak ia minta izin untuk mengambil tisu. Dan balik lagi sembari mengusapkan tisu ke matanya yang masih terlihat berkaca.

"Saya tidak bisa cerita lagi mas, intinya berat perjuangannya dulu, saya tidak bisa menjelaskannya," ucapnya sembari mengusap pipi yang telah teraliri lagi oleh air mata.

Tony Haryanto yang duduk dekat bersama kami spontan mendekat ke ibunya dan mengusap punggung orang tua tersebut. Penerus atau generasi keempat usaha yopia ini menyampaikan ibunya pasti akan menangis jika teringat masa susah dulu. "Ya begitu, mami kalau diingatkan perjuangannya dulu pasti menangis, karena berat sekali perjuangannya membesarkan empat anak sendiri dengan berjualan yopia," kata dia.

Dulu banyak yang bilang kue ini haram. Tidak, ini kue halal, semua orang bisa makan.

yopia4Pembeli membawa yopia pesanan dari usaha milik Waras di Desa Karangturi, Kecamatan Lasem, Rembang. (Foto: Tagar/Rendy Teguh Wibowo)

Ia pun bisa memahami kesedihan itu karena merasakan langsung berjualan keliling bersama sang mami. Meski hingga luar kota, Tony tidak pernah absen untuk selalu mendampinginya. "Dulu pernah tempat minum saya jatuh terus terlindas kendaraan sampai pecah. Saya menangis tidak mau jalan lagi sampai dibelikan yang baru," ucapnya. 

Beranjak dewasa, Tony tinggal dan bekerja di Kabupaten Kudus. Melihat usia maminya yang tidak muda lagi, pria ini memutuskan untuk pulang kampung pada 2016. Ia ikut membantu membuat kue sembari menjaga maminya yang tinggal seorang diri. Apalagi tiga kakaknya saat ini telah bekerja dan menetap di luar kota.

"Saya pikir-pikir dari pada kerja ikut orang, sedangkan di rumah sudah ada usaha yang sudah jalan, mendingan pulang meneruskan usaha sekalian jaga mami. Karena kalau tidak saya yang meneruskan, saudara yang lain di luar kota, semua jajanan ini akan hilang," tutur dia. 

Kehadiran Tony, membuat Waras kembali bersemangat. Meski tidak lagi aktif di proses pembuatan, wanita ini tetap mengawasi cara pembuatan dan menghitung jumlah pesanan pelanggan yang masuk. 

Tidak ada hasil yang mengingkari keringat. Saat ini yopia Waras berkembang dan sudah memiliki pelanggan tetap berjumlah puluhan. Mereka datang dari kalangan pengusaha pusat oleh-oleh di berbagai daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Semarang dan Surabaya. 

Namun demikian usaha Tony membantu memasarkan jajanan ini juga tidak mudah, penolakan pernah dirasakan juga. "Dulu saat saya memasarkannya di Kudus, di tempat oleh-oleh, pernah ditolak. Bilangnya ini makanan apa, enak apa tidak, bentuknya kok gini. Tapi sekarang dia malah yang cari saya, mungkin sudah tahu rasanya terus pengin order untuk tempat oleh-olehnya," kata dia.

Di masa perayaan imlek, order yopia bisa meningkat hingga 50 persen dibanding hari biasa. Namun momen itu tidak ia manfaatkan untuk mendulang untuk berlipat dengan menaikkan harga. Yopia tetap dibanderol Rp 25 ribu untuk satu kemasan isi 10 yopia. "Sehari bisa bikin 500-600 yopia," sebutnya.

Tony merasa senang sekaligus bangga, yopia saat ini sudah jauh lebih dikenal masyarakat. Banyak mahasiswa, wisatawan sampai awak jurnalis yang datang untuk menyaksikan langsung proses pembuatan yopia. Juga pernah dikunjungi wisatawan dari luar negeri, seperti dari Malaysia dan Jepang.

"Pernah ada tamu, dari mana saya lupa, yang jelas warga negara Indonesia, memborong banyak kue saya, katanya mau dibawa ke Amerika untuk keluarganya yang di sana," tuturnya tersenyum menutup pembicaraan kami. []

Baca juga: 

Berita terkait
Yopia Cemilan Wajib Perayaan Imlek di Rembang
Yopia, panganan wajib yang disuguhkan warga Tionghoa di Rembang saat perayaan Imlek, selain kue keranjang.
Bakso Ayam Legenda Kuliner Tersembunyi Asal Rembang
Belum setenar lontong tuyuhan, bakso ayam ternyata legenda kuliner asal Rembang. Seperti apa rasanya?
Durian Cebol Rembang, 3 Meter Sudah Berbuah
Ada pohon durian unik di Rembang. Durian cebol, butuh tinggi tiga meter untuk bisa berbuah.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.